Sejarah Sastra Rusia
Sejarah karya sastra Rusia diawali dengan beberapa karya yang ditulis dalam bahasa Rusia kuno. Karya-karya tersebut misalnya “The Tale of Igor's Campaign” dan “Praying of Daniel the Immured” dan kesemuanya anonim. Karya lain yang mengawali lahirnya kesusasteraan Rusia antara lain Zadonschina, Physiologist, Synopsis and A Journey Beyond the Three Seas...
Sejarah Sastra Di Amerika
Sejarah penulisan karya sastra di Amerika berkaitan erat dengan para imigran yang berasal dari Inggris. Sedikit-banyak kebudayaan dan tren sastra di Britania mempengaruhi apa yang ada di Amerika
Selamat Datang..
Ini adalah halaman karya sastra saya. Blog ini masih dalam pembangunan. Bagi teman-teman yang punya minat sama yaitu sastra siap-siap tukeran link dan sering-sering main ke sini ya..
Selamat Datang..
Ini adalah halaman karya sastra saya. Blog ini masih dalam pembangunan. Bagi teman-teman yang punya minat sama yaitu sastra siap-siap tukeran link dan sering-sering main ke sini ya..
Selamat Datang..
Ini adalah halaman karya sastra saya. Blog ini masih dalam pembangunan. Bagi teman-teman yang punya minat sama yaitu sastra siap-siap tukeran link dan sering-sering main ke sini ya..
Minggu, 29 Januari 2012
Serdadu Tua dan Jipnya
Jumat, 27 Januari 2012
SERIBU KUNANG-KUNANG DI MANHATTAN
Cerpen karya Umar Khayam
Mereka duduk bermalas-malasan di sofa. Marno dengan segelas scotch dan Jane dengan segelas martini. Mereka sama-sama memandang ke luar jendela.
“Bulan itu ungu, Marno.”
“Kau tetap hendak memaksaku untuk percaya itu ?”
“Ya, tentu saja, Kekasihku. Ayolah akui. Itu ungu, bukan?”
“Kalau bulan itu ungu, apa pula warna langit dan mendungnya itu?”
“Oh, aku tidak ambil pusing tentang langit dan mendung. Bulan itu u-ng-u! U-ng-u! Ayolah, bilang, ungu!”
“Kuning keemasan!”
“Setan! Besok aku bawa kau ke dokter mata.”
Marno berdiri, pergi ke dapur untuk menambah air serta es ke dalam gelasnya, lalu dia duduk kembali di sofa di samping Jane. Kepalanya sudah terasa tidak betapa enak.
“Marno, Sayang.”
“Ya, Jane.”
“Bagaimana Alaska sekarang?”
“Alaska? Bagaimana aku tahu. Aku belum pernah ke sana.”
“Maksudku hawanya pada saat ini.”
“Oh, aku kira tidak sedingin seperti biasanya. Bukankah di sana ada summer juga seperti di sini?”
“Mungkin juga. Aku tidak pernah berapa kuat dalam ilmu bumi. Gambaranku tentang Alaska adalah satu padang yang amat l-u-a-s dengan salju, salju dan salju.Lalu di sana-sini rumah-rumah orang Eskimo bergunduk-gunduk seperti es krim panili.”
“Aku kira sebaiknya kau jadi penyair, Jane. Baru sekarang aku mendengar perumpamaan yang begitu puitis. Rumah Eskimo sepeti es krim panili.”
“Tommy, suamiku, bekas suamiku, suamiku, kautahu …. Eh, maukah kau membikinkan aku segelas ….. ah, kau tidak pernah bisa bikin martini. Bukankah kau selalu bingung, martini itu campuran gin dan vermouth atau gin dan bourbon? Oooooh, aku harus bikin sendiri lagi ini …. Uuuuuup ….”
Dengan susah payah Jane berdiri dan dengan berhati-hati berjalan ke dapur. Suara gelas dan botol beradu, terdengar berdentang-dentang.
Dari dapur, “bekas suamiku, kautahu ….. Marno, Darling.”
“Ya, ada apa dengan dia?”
“Aku merasa dia ada di Alaska sekarang.”
Pelan-pelan Jane berjalan kembali ke sofa, kali ini duduknya mepet Marno.
“Di Alaska. Coba bayangkan, di Alaska.”
“Tapi Minggu yang lalu kaubilang dia ada di Texas atau di Kansas. atau mungkin di Arkansas.”
“Aku bilang, aku me-ra-sa Tommy berada di Alaska.”
“Oh.”
“Mungkin juga dia tidak di mana-mana.”
Marno berdiri, berjalan menuju ke radio lalu memutar knopnya. Diputar-putarnya beberapa kali knop itu hingga mengeluarkan campuran suara-suara yang aneh. Potongan-potongan lagu yang tidak tentu serta suara orang yang tercekik-cekik. Kemudian dimatikannya radio itu dan dia duduk kembali di sofa.
“Marno, Manisku.”
“Ya, Jane.”
“Bukankah di Alaska, ya, ada adat menyuguhkan istri kepada tamu?”
“Ya, aku pernah mendengar orang Eskimo dahulu punya adat-istiadat begitu. Tapi aku tidak tahu pasti apakah itu betul atau karangan guru antropologi saja.”
“Aku harap itu betul. Sungguh, Darling, aku serius. Aku harap itu betul.”
“Kenapa?”
“Sebab, seee-bab aku tidak mau Tommy kesepian dan kedinginan di Alaska. Aku tidak maaau.”
“Tetapi bukankah belum tentu Tommy berada di Alaska dan belum tentu pula sekarang Alaska dingin.”
Jane memegang kepala Marno dan dihadapkannya muka Marno ke mukanya. Mata Jane memandang Marno tajam-tajam.
“Tetapi aku tidak mau Tommy kesepian dan kedinginan! Maukah kau?”
Marno diam sebentar. Kemudian ditepuk-tepuknya tangan Jane.
“Sudah tentu tidak, Jane, sudah tentu tidak.”
“Kau anak yang manis, Marno.”
Marno mulai memasang rokok lalu pergi berdiri di dekat jendela. Langit bersih malam itu, kecuali di sekitar bulan. Beberapa awan menggerombol di sekeliling bulan hingga cahaya bulan jadi suram karenanya. Dilongokknannya kepalanya ke bawah dan satu belantara pencakar langit tertidur di bawahnya. Sinar bulan yang lembut itu membuat seakan-akan bangunan-bangunan itu tertidur dalam kedinginan. Rasa senyap dan kosong tiba-tiba terasa merangkak ke dalam tubuhnya.
“Marno.”
“Ya, Jane.”
“Aku ingat Tommy pernah mengirimi aku sebuah boneka Indian yang cantik dari Oklahoma City beberapa tahun yang lalu. Sudahkah aku ceritakan hal ini kepadamu?”
“Aku kira sudah, Jane. Sudah beberapa kali.”
“Oh.”
Jane menghirup martini-nya empat hingga lima kali dengan pelan-pelan. Dia sendiri tidak tahu sudah gelas yang keberapa martini dipegangya itu.
Lagi pula tidak seorang pun yang memedulikan.
“Eh, kau tahu, Marno?”
“Apa?”
“Empire State Building sudah dijual.”
“Ya, aku membaca hal itu di New York Times.”
“Bisakah kau membayangkan punya gedung yang tertinggi di dunia?”
“Tidak. Bisakah kau?”
“Bisa, bisa.”
“Bagaimana?”
“Oh, tak tahulah. Tadi aku kira bisa menemukan pikiran-pikiran yang cabul dan lucu. Tapi sekarang tahulah ….”
Lampu-lampu yang berkelipan di belantara pencakar langit yang kelihatan dari jendela mengingatkan Marno pada ratusan kunang-kunang yang suka bertabur malam-malam di sawah embahnya di desa.
“Oh, kalau saja …..”
“Kalau saja apa, Kekasihku?”
“Kalau saja ada suara jangkrik mengerik dan beberapa katak menyanyi dari luar sana.”
“Lantas?”
“Tidak apa-apa. Itu kan membuat aku lebih senang sedikit.”
“Kau anak desa yang sentimental!”
“Biar!”
Marno terkejut karena kata “biar” itu terdengar keras sekali keluarnya.
“Maaf, Jane. Aku kira scotch yang membuat itu.”
“Tidak, Sayang. Kau merasa tersinggung. Maaf.”
Marno mengangkat bahunya karena dia tidak tahu apa lagi yang mesti diperbuat dengan maaf yang berbalas maaf itu.
Sebuah pesawat jet terdengar mendesau keras lewat di atas bangunan apartemen Jane.
“Jet keparat!”
Jane mengutuk sambil berjalan terhuyung ke dapur. Dari kamar itu Marno mendengar Jane keras-keras membuka kran air. Kemudian dilihatnya Jane kembali, mukanya basah, di tangannya segelas air es.
“Aku merasa segar sedikit.”
Jane merebahkan badannya di sofa, matanya dipejamkan, tapi kakinya disepak-sepakkannya ke atas. Lirih-lirih dia mulai menyanyi : deep blue sea, baby, deep blue sea, deep blue sea, baby, deep blue sea ……
“Pernahkah kau punya keinginan, lebih-lebih dalam musim panas begini, untuk telanjang lalu membiarkan badanmu tenggelam dalaaammm sekali di dasar laut yang teduh itu, tetapi tidak mati dan kau bisa memandang badanmu yang tergeletak itu dari dalam sebuah sampan?”
“He? Oh, maafkan aku kurang menangkap kalimatmu yang panjang itu. Bagaimana lagi, Jane?”
“Oh, lupakan saja. Aku Cuma ngomong saja. Deep blue sea, baby, deep blue, deep blue sea, baby, deep blue sea ….”
“Marno.”
“Ya.”
“Kita belum pernah jalan-jalan ke Central Park Zoo, ya?”
“Belum, tapi kita sudah sering jalan-jalan ke Park-nya.”
“Dalam perkawinan kami yang satu tahun delapan bulan tambah sebelas hari itu, Tommy pernah mengajakku sekali ke Central Park Zoo. Ha, aku ingat kami berdebat di muka kandang kera. Tommy bilang chimpansee adalah kera yang paling dekat kepada manusia, aku bilang gorilla. Tommy mengatakan bahwa sarjana-sarjana sudah membuat penyelidikan yang mendalam tentang hal itu, tetapi aku tetap menyangkalnya karena gorilla yang ada di muka kami mengingatkan aku pada penjaga lift kantor Tommy. Pernahkah aku ceritakan hal ini kepadamu?”
“Oh, aku kira sudah, Jane. Sudah beberapa kali.”
“Oh, Marno, semua ceritaku sudah kau dengar semua. Aku membosankan, ya, Marno? Mem-bo-san-kan.”
Marno tidak menjawab karena tiba-tiba saja dia merasa seakan-akan istrinya ada di dekat-dekat dia di Manhattan malam itu. Adakah penjelasannya bagaimana satu bayang-bayang yang terpisah beribu-ribu kilometer bisa muncul begitu pendek?
“Ayolah, Marno. Kalau kau jujur tentulah kau akan mengatakan bahwa aku sudah membosankan. Cerita yang itu-itu saja yang kau dengar tiap kita ketemu. Membosankan, ya? Mem-bo-san-kan!”
“Tapi tidak semua ceritamu pernah aku dengar. Memang beberapa ceritamu sudah beberapa kali aku dengar.”
“Bukan beberapa, Sayang. Sebagian besar.”
“Baiklah, taruhlah sebagian terbesar sudah aku dengar.”
“Aku membosankan jadinya.”
Marno diam tidak mencoba meneruskan. Disedotnya rokoknya dalam-dalam, lalu dihembuskannya lagi asapnya lewat mulut dan hidungnya.
“Tapi Marno, bukankah aku harus berbicara? Apa lagi yang bisa kukerjakan kalau aku berhenti bicara? Aku kira Manhattan tinggal tinggal lagi kau dan aku yang punya. Apalah jadinya kalau salah seorang pemilik pulau ini jadi capek berbicara? Kalau dua orang terdampar di satu pulau, mereka akan terus berbicara sampai kapal tiba, bukan?”
Jane memejamkan matanya dengan dadanya lurus-lurus telentang di sofa. Sebuah bantal terletak di dadanya. Kemudian dengan tiba-tiba dia bangun, berdiri sebentar, lalu duduk kembali di sofa.
“Marno, kemarilah, duduk.”
“Kenapa? Bukankah sejak sore aku duduk terus di situ.”
“Kemarilah, duduk.”
“Aku sedang enak di jendela sini, Jane. Ada beribu kunang-kunang di sana.”
“Kunang-kunang?”
“Ya.”
“Bagaimana rupa kunang-kunang itu? Aku belum pernah lihat.”
“Mereka adalah lampu suar kecil-kecil sebesar noktah.”
“Begitu kecil?”
“Ya. Tetapi kalau ada beribu kunang-kunang hinggap di pohon pinggir jalan, itu bagaimana?”
“Pohon itu akan jadi pohon-hari-natal.”
“Ya, pohon-hari-natal.”
Marno diam lalu memasang rokok sebatang lagi. Mukanya terus menghadap ke luar jendela lagi, menatap ke satu arah yang jauh entah ke mana.
“Marno, waktu kau masih kecil ….. Marno, kau mendengarkan aku, kan?”
“Ya.”
“Waktu kau masih kecil, pernahkah kau punya mainan kekasih?”
“Mainan kekasih?”
“Mainan yang begitu kau kasihi hingga ke mana pun kau pergi selalu harus ikut?”
“Aku tidak ingat lagi, Jane. Aku ingat sesudah aku agak besar, aku suka main-main dengan kerbau kakekku, si Jilamprang.”
“Itu bukan mainan, itu piaraan.”
“Piaraan bukankah untuk mainan juga?”
“Tidak selalu. Mainan yang paling aku kasihi dahulu adalah Uncle Tom.”
“Siapa dia?”
“Dia boneka hitam yang jelek sekali rupanya. Tetapi aku tidak akan pernah bisa tidur bila Uncle Tom tidak ada di sampingku.”
“Oh, itu hal yang normal saja, aku kira. Anakku juga begitu. Punya anakku anjing-anjingan bernama Fifie.”
“Tetapi aku baru berpisah dengan Uncle Tom sesudah aku ketemu Tommy di High School. Aku kira, aku ingin Uncle Tom ada di dekat-dekatku lagi sekarang.”
Diraihnya bantal yang ada di sampingnya, kemudian digosok-gosokkannya pipinya pada bantal itu. Lalu tiba-tiba dilemparkannya lagi bantal itu ke sofa dan dia memandang kepala Marno yang masih bersandar di jendela.
“Marno, Sayang.”
“Ya.”
“Aku kira cerita itu belum pernah kaudengar, bukan ?”
“Belum, Jane.”
“Bukankah itu ajaib? Bagaimana aku sampai lupa menceritakan itu sebelumnya.”
Marno tersenyum
“Aku tidak tahu, Jane.”
“Tahukah kau? Sejak sore tadi baru sekarang kau tersenyum. Mengapa?”
Marno tersenyum
“Aku tidak tahu, Jane. Sungguh.”
Sekarang Jane ikut tersenyum.
“Oh, ya, Marno, manisku. Kau harus berterima kasih kepadaku. Aku telah menepati janjiku.”
“Apakah itu, Jane?”
“Piyama. Aku telah belikan kau piyama, tadi. Ukuranmu medium-large, kan? Tunggu, ya ……”
Dan Jane, seperti seekor kijang yang mendapatkan kembali kekuatannya sesudah terlalu lama berteduh, melompat-lompat masuk ke dalam kamarnya. Beberapa menit kemudian dengan wajah berseri dia keluar kembali dengan sebuah bungkusan di tangan.
“Aku harap kausuka pilihanku.”
Dibukanya bungkusan itu dan dibeberkannya piyama itu di dadanya.
“Kausuka dengan pilihanku ini?”
“Ini piyama yang cantik, Jane.”
“Akan kau pakai saja malam ini. Aku kira sekarang sudah cukup malam untuk berganti dengan piyama.”
Marno memandang piyama yang ada di tangannya dengan keraguan.
“Jane.”
“Ya, Sayang.”
“Eh, aku belum tahu apakah aku akan tidur di sini malam ini.”
“Oh? Kau banyak kerja?”
“Eh, tidak seberapa sesungguhnya. Cuma tak tahulah ….”
”Kaumerasa tidak enak badan?”
“Aku baik-baik saja. Aku …. eh, tak tahulah, Jane.”
“Aku harap aku mengerti, Sayang. Aku tak akan bertanya lagi.”
“Terima kasih, Jane.”
“Terserahlah. Cuma aku kira, aku tak akan membawanya pulang.”
“Oh”.
Pelan-pelan dibungkusnya kembali piyama itu lalu dibawanya masuk ke dalam kamarnya. Pelan-pelan Jane keluar kembali dari kamarnya.
“Aku kira, aku pergi saja sekarang, Jane.”
“Kau akan menelpon aku hari-hari ini, kan?”
‘Tentu, Jane.”
“Kapan, aku bisa mengharapkan itu?
“Eh, aku belum tahu lagi, Jane. Segera aku kira.”
“Kau tahu nomorku kan? Eldorado”
“Aku tahu, Jane.”
Kemudian pelan-pelan diciumnya dahi Jane, seperti dahi itu terbuat dari porselin. Lalu menghilanglah Marno di balik pintu, langkahnya terdengar sebentar dari dalam kamar turun tangga.
Di kamarnya, di tempat tidur sesudah minum beberapa butir obat tidur, Jane merasa bantalnya basah.
Sabtu, 21 Januari 2012
Gundar Sepatu
Cerpen karya A.A. Navis
Dilarang Menyanyi Di Kamar Mandi
Cerpen Karya Seno Gumira Ajidarma
Rabu, 11 Januari 2012
Sastra Sebagai Pola Berpikir
Jumat, 06 Januari 2012
Lelehan Salju
Di luar cuaca berembun, salju mulai meleleh, jatuh bergumpal-gumpal dari atap rumah lalu teronggok di muka jendela. Wanita itu tengah berada di dapur ketika suaminya pulang dari tempat bekerja. Hari sudah mulai gelap dan jam dinding menunjukkan hampir pukul 6 sore. Ia mendengar bagaimana suaminya membuka pintu dengan kuncinya sendiri dan menguncinya kembali dari dalam.
Suami wanita itu lalu pergi ke kamar mandi, baru kemudian masuk ke ruangan dalam, menutup pintu yang berada di belakang punggung istrinya dan menyapanya. Barulah wanita itu melepaskan sarung tangan plastiknya yang penuh dengan busa sabun dan mengibarkan air dari jari-jari tangannya serta mengangguk membalas salam suaminya.
“Sudah kau kunci pintunya?” tanya wanita itu pada suaminya untuk meyakinkan dirinya.
“Sudah,” jawab suaminya.
“Dua kali?” tanya wanita itu lagi.
“Ya,” jawab suaminya pula.
Wanita itu kemudian pergi ke jendela dan menutup kerainya.
“Jangan menyalakan lampu dulu!” serunya pada suaminya. “Ada lubang di kerai jendela, alangkah baiknya jika kau tutup dulu dengan selembar seng tipis di atasnya,” tambahnya lagi.
“Kau begitu penakut,” ujar suami wanita itu, namun tak urung juga ia segera mengambil perkakas pertukangan dan selembar seng tipis. Di salah satu sisi seng tipis itu ada gambar orang negro dengan syal merah di lehernya dan gigi-giginya terlihat putih berkilauan. Ia memakukan seng itu sedemikian rupa, sehingga orang bisa melihat si negro itu dari dalam rumah.
Suami wanita itu mengerjakan semua itu hanya dengan bantuan sedikit cahaya yang menerobos masuk ke dapur dari koridor rumah. Belum juga ia menuntaskan pekerjaannya, istrinya sudah pergi ke luar mematikan lampu luar dan menutup pintu. Kemudian tiba-tiba ruangan yang gelap gulita itu menjadi terang benderangg oleh cahaya lampu neon. Suami wanita itu mencuci tangannya di bawah keran dan kemudian duduk di depan meja makan.
“Sekarang, aku ingin makan,” ujarnya.
“Ya,” kata istrinya, yang lalu segera mengambil dari dalam lemari berisi Wurst, Schinken dan botol lada serta sepiring kentang berselada. Di atas meja makan sudah tersedia roti di dalam keranjang yang dihiasi dengan indahnya dan ditaruh di atas kain penutup terbuat dari linen bergambar kapal-kapal kecil yang lucu.
“Apakah kau punya koran hari ini?” tanya wanita itu pada suaminya.
“Ya,” jawab sang suami yang lalu beranjak ke luar dapur dan segera masuk ke dapur kembali. Diletakkannya koran yang dibawanya di atas meja makan.
“Pintu harus segera kau tutup kembali,” tegur wanita itu.
“Kalau tidak cahaya lampu di rumah kita terlihat dari luar dan orang segera tahu bahwa kita sedang berada di rumah.” tambahnya lagi.
“Ada berita apa di koran hari ini?” tanya wanita itu pada suaminya.
“Tentang kembalinya para astronot dari bulan,” jawab suaminya setelah menutup pintu, kemudian duduk kembali dan mulai memakan kentang dan Wurst-nya. “Juga sedikit berita tentang Cina dan Aljazair,” tambahnya.
“Aku tak ingin tahu tentang hal itu,” ujar wanita itu. “Yang ingin kuketahui, apakah polisi telah berbuat sesuatu?”
“Ya,” jawab suaminya. “Mereka membuat sebuah daftar nama.”
“Sebuah daftar nama?” seru wanita itu panik. “Apakah kau melihat ada polisi di jalan raya depan rumah kita?” tanyanya.
“Tidak,'' jawab suaminya.
“Juga tidak di sudut jalan?” tanya wanita itu lagi.
“Tidak,” kata suaminya lagi.
Wanita itu kemudian duduk pula di depan meja dan mulai makan, tetapi sangat sedikit. Tiap saat ia memasang telinganya dengan sangat tegang pada setiap bunyi atau suara yang terdengar dari jalan raya.
“Aku tak dapat memahami sikapmu,” ujar suaminya.
“Aku tak melihat dan tak tahu siapa yang akan melakukan sesuatu pada kita dan apa yang akan dilakukannya serta mengapa?” cetusnya lagi.
“Aku tahu orangnya,” jawab wanita itu.
“Selain dia, aku tak tahu siapa lagi orangnya. Dan dia kini sudah mati,” ujar suaminya.
“Aku benar-benar yakin,” ujar wanita itu yang lalu berdiri, membereskan piring-piring dan segera mulai mencucinya. Ia berusaha keras untuk sedapat mungkin tidak menimbulkan suara. Suami wanita itu menyalakan rokok dan mulai membaca halaman pertama koran hari itu. Orang dapat melihat bahwa ia tidak sungguh-sungguh sedang membaca.
“Kita, toh, hanya melakukan kebaikan padanya,” cetus suami wanita itu.
“Itu tidak ada artinya,” ujar istrinya seraya melepas sarung tangannya, memerasnya dan menggantungkannya pada papan berkait yang berwarna biru cantik yang terletak di atas alat pemanas.
“Tahukah kau, bagaimana mereka akan berbuat,” tanya wanita itu.
“Tidak!” jawab suaminya. “Aku juga tak ingin mengetahuinya. Aku ingin mendengarkan siaran berita.”
Walaupun suaminya sudah memutuskan pembicaraan mengenai hal itu, tetapi wanita itu masih saja meneruskan.
“Mereka akan membunyikan bel,” ujar wanita itu. “Tetapi hanya jika mereka tahu ada orang di rumah. Bila pintu tak juga dibuka, maka mereka akan memecahkan pintu kaca, masuk ke dalam ruangan dengan revolver di tangan,” tambahnya lagi.
“Sudahlah,” putus suaminya. “Hellmuth sudah mati.”
Wanita itu mengambil serbet yang tergantung pada papan berkait di dinding dan mengeringkan kedua tangannya.
“Aku harus menceritakan sesuatu padamu,” ujar wanita itu.
“Sebelumnya aku tak ingin menceritakannya, tetapi sekarang harus kuceritakan. Waktu itu, ketika aku dijemput oleh polisi ...”
Suami wanita itu meletakkan korannya di atas meja dan menatap istrinya dengan terkejut. “Ya?” tanyanya sangsi.
“Mereka membawaku ke kamar mayat,” ujar wanita itu. “Polisi itu lalu segera menutup mayat seseorang, tetapi kemudian perlahan-lahan membukanya dari kakinya.”
“Polisi itu menanyakan apakah sepatu si mayat itu sepatu anakku atau bukan. Aku lalu mengiyakannya,” wanita itu bercerita pada suaminya.
“Polisi itu lalu juga menanyakan apakah celana dan baju si mayat itu celana dan baju milik anakku atau bukan. Aku pun mengiyakannya pula,” cerita wanita itu lagi.
“Ya, aku ingat,” ujar suaminya.
“Terakhir polisi itu juga menanyakan apakah wajah si mayat itu wajah anakku atau bukan. Ia membuka kain penutup mukanya, tetapi hanya sekejap karena wajah mayat itu telah begitu rusak dan ia takut kalau aku akan tak sadarkan diri atau menjerit keras,”' cerita wanita itu pula.
“Waktu itu, aku juga mengiyakan bahwa itu memang wajahnya.”
“Ya aku ingat,” ujar suaminya pula.
Wanita itu menghampiri meja, duduk berhadap-hadapan dengan suaminya seraya meletakkan kepalanya di atas tangannya.
“Aku sebenarnya tidak mengenali wajah mayat itu,” ujar wanita itu mengaku.
“Tetapi tentunya, wajah mayat itu memang wajahnya,” suaminya mencoba meyakinkannya.
“Tetapi rasanya bukan dia,” ujar wanita itu lagi. “Aku segera pulang ke rumah waktu itu dan mengatakan padamu bahwa aku telah melihat mayatnya, dan kau waktu itu tampak senang.”
“Ya, kita berdua senang,” kenang suaminya.
“Karena dia bukan anak kandung kita,” sambung wanita itu.
“Karena ia kembali tak ada, seperti sediakala,” lanjut suaminya pula, yang lalu memandang wajah istrinya lekat-lekat. Sebuah raut muka yang bundar dan tetap tampak muda dikelilingi anak-anak rambut, tetapi yang dapat pula tiba-tiba berubah menjadi wajah seorang wanita yang sangat tua.
“Kau kelihatan begitu lelah,” cetus suami wanita itu.
“Kau begitu tegang dan cemas. Seharusnya kita tidur sekarang,”
“Tak ada gunanya,” ujar istrinya. “Sudah lama kita tak dapat tidur. Kita hanya berbaring saja dan sedikit memicingkan mata. Kemudian terbitlah fajar, dan mata kita pun segera terbuka lagi,” tambahnya pula.
“Agaknya orang tak boleh memungut anak seorang pun. Kita telah melakukan kesalahan waktu itu, tetapi kini semuanya sudah beres,” kata suami wanita itu.
“Aku tidak mengenali mayat itu,” keluh wanita itu mengulangi kesangsiannya.
“Tetapi bisa saja, ia telah benar-benar mati atau pergi jauh ke luar negeri, ke Amerika atau Australia,” ujar suaminya menenangkan.
Saat itu segumpal salju jatuh kembali dari atap rumah ke atas jalan raya dan menimbulkan suara lunak.
“Masih ingatkah kau pada suatu musim dingin yang begitu bersalju,” tanya wanita itu.
“Ya,” jawab suaminya. “Waktu itu Hellmuth baru ber-usia 7 tahun. Kita membelikan sebuah sepatu luncur. Ia juga masih mendapat banyak hadiah lainnya.”
“Tetapi, bukan yang diinginkannya,” ujar wanita itu.
“Ia mengaduk-aduk seluruh hadiah yang didapatnya. Mencari dan terus mencari. Akhirnya ia menjadi tenang dan bermain dengan balok-balok kayu. Ia membangun rumah-rumahan yang tidak memiliki jendela dan pintu serta dikelilingi oleh tembok yang tinggi.”
“Pada tahun baru, ia membunuh seekor kelinci,” kenang wanita itu lagi.
“lebih baik kita bicarakan hal yang lain saja.” putus suaminya. “Berikan padaku gitar itu, aku hendak memperbaiki senarnya.
“Terlalu berisik nanti,” kata wanita itu. “Tahukah kau, bagaimana mereka menyebut diri mereka sendiri?” lanjut wanita itu lagi, tak ingin rnengalihkan pembicaraan.
“Tidak,” jawab suaminya. “Aku tak mengetahuinya. Aku ingin tidur atau melakukan yang lainnya.” cetus suaminya pula.
“Mereka menyebut diri mereka hakim-hakim,” lanjut wanita itu menjawab sendiri pertanyaannya. Ia segera memasangkan mata dan telinganya tajam-tajam, ketika seseorang terdengar menaiki tangga ke tingkat yang paling tinggi.
“Kau membuatku gila,” cetus suaminya.
“Ketika ia berumur 9 tahun, ia memukulku untuk pertama kalinya. Ingatkah kau?” tanya wanita itu pada suaminya.
“Ya, aku masih ingat,” sahut suaminya. “Ia diusir dari sekolahnya dan kau memarahinya. Pada saat itulah kita memasukkannya ke lembaga pendidikan anak nakal”
“Pada saat liburan, ia pulang ke rumah,” kenang wanita itu.
“Ya, pada saat liburan ia bersama kita,” ulang suaminya.
“Suatu waktu pada hari Minggu aku pergi dengannya ke telaga di tengah hutan. Kami melihat ikan-ikan di sana.
Pada perjalanan pulang, ia menggenggamkan tangannya ke tanganku.”
“Keesokan harinya,” lanjut wanita itu. “Ia memukul anak walikota tepat di matanya.”
“Ia tak tahu bahwa yang dipukulnya itu anak walikota” ujar suaminya.
“Saat itu ia sungguh tak menyenangkan,” kenang wanita itu.
“Kau nyaris kehilangan pekerjaanmu waktu itu.”
“Kita begitu senang waktu itu jika saat liburan telah usai,” lanjut suaminya seraya berdiri mengambil sebotol minuman dari dalam lemari es dan menuangkannya ke dalam gelas di atas meja, “mau minum jugakah kau?” tanyanya pada istrinya.
“Tidak, aku tidak ingin minum,” jawab wanita itu. “Ia tak mencintai kita,” tambahnya lagi.
“Ia tak pernah mencintai siapa pun,” sahut suami wanita itu. “Namun, paling tidak ia pemah mencari perlindungan pada kita.”
“Saat itu ia dikirim kembali dari lembaga pendidikan itu, karena masa pendidikannya di situ telah selesai,” kata wanita itu terus mengenangkan masa lalu. “Ia tak tahu harus pergi ke mana.”
“Direktur lembaga itu menelponku,” ujar suami wanita itu pula. “Ia seorang yang ramah dan lucu. Ia berpesan padaku agar menerima kehadiran Helmuth kembali, jika ia pulang ke rumah kita, karena ia tidak mempunyai uang sedikit pun dan tak dapat membeli makanan. Jika seekor burung lapar, tentu ia akan kembali ke sarangnya,” demikian pesan Pak Direktur itu padaku.”
“Benar ia mengatakan hal itu?” tanya wanita itu.
“Ya,” jawab suaminya. “Pak Direktur itu juga ingin tahu apakah di kota ini Hellmuth mempunyai kawan atau tidak.”
“Ia tak punya kawan seorang pun,” ujar wanita itu.
“Saat itu salju mulai meleleh,” kenang suaminya. “Salju jatuh bergumpal-gumpal dari atap rumah ke dalam balkon,” tambahnya lagi.
“Persis seperti hari ini,” ujar wanita itu.
“Segalanya persis seperti hari ini,” ulang wanita itu. “Jendela ditutup rapat, berbicara pelan-pelan seolah-olah tak seorang pun sedang berada di rumah. Anak itu menaiki tangga, menekan bel dan mengetuk pintu.”
“Hellmuth bukan seorang anak-anak lagi,” kenang suaminya. “Ia sudah berumur 15 tahun waktu itu, dan kita harus melakukan apa yang dipesankan Pak Direktur.”
“Kita takut waktu itu,” ujar wanita itu.
Suami wanita itu menuang ke dalam gelas minumannya yang kedua. Suara dari jalan raya hampir tak terdengar lagi. Orang dapat mendengar suara dari kejauhan, dari pegunungan.
“Ia berdiam diri sejenak,” ujar wanita itu. “Ia sudah berumur 15 tahun waktu itu, tapi ia menangis di atas tangga.”
“Semuanya kini telah berlalu,” ujar suaminya dan memainkan ujung jari tangannya membentuk lingkaran di atas penutup meja bergambar kapal kecil.
“Di kantor polisi waktu itu ada seorang wanita yang menangis meronta-ronta. Anaknya mati tertabrak,” ujar wanita itu.
“Bau darah,” ujar suaminya setengah bercanda dan memperlihatkan wajah seorang yang menderita.
“Ia, toh, pernah juga sekali waktu mempunyai seorang sahabat,” kenang wanita itu meralat pernyataannya sebelumnya. “Sahabatnya itu seorang anak laki-laki yang kecil dan lemah. Anak itulah yang diikat oleh teman-temannya di halaman sekolah. Rumput di bawah kakinya dibakar dan rumput itu pun turut membakar kaki anak itu.”
“Nah, kamu lihat lagi, kan,” ujar suaminya.
“Tidak,” bantah wanita itu. “Hellmuth tidak turut melakukannya dan dia juga tidak senang berada di situ. Anak malang itu akhirnya dapat melepaskan dirinya, tetapi ia kemudian meninggal. Semua teman-temannya datang ke pemakamannya dan menabur bunga.”
“Juga Hellmuth?'“ tanya suaminya.
“Hellmuth tidak,” jawab wanita itu.
“Ia tidak berhati.” ujar suami wanita itu dan mulai memain-mainkan gelas minumnya.
“Barangkali tidak demikian,” sanggah wanita itu.
“Di sini cahaya begitu terangnya,” ujar suaminya tiba-tiba seraya memandang ke lampu neon dan kemudian menutup matanya dengan tangannya.
“Di mana fotonya?” tanya suami wanita itu.
“Di dalam lemari,” jawab istrinya.
“Kapan kau menaruhnya?” tanya suaminya lagi
“Sudah lama.” jawab wanita itu.
“Tepatnya kapan?” kejar suaminya terus.
“Kemarin,” jawab wanita itu.
“Jadi kau melihatnya, kemarin?” tanya sang suami.
“Ya,” jawab wanita itu panik, “Ia berdiri di sudut jalan.”
“Sendiri?” tanya suaminya lagi.
“Tidak,” jawab wanita itu pula, “Ia bersama beberapa orang temannya yang tak kukenal. Mereka semuanya berdiri dengan kedua tangan di saku celana dan berdiam diri saja. Kemudian mereka mendengar suatu suara, yang juga kudengar. Suara pluit melengking panjang dan tiba-tiba mereka semua lenyap begitu saja seperti ditelan perut bumi.”
“Apakah mereka melihatmu?” tanya suami wanita itu,
“Tidak,” jawab istrinya. “Aku sedang turun dari trem listrik waktu itu dan ia tengah berputar membelakangiku.”
“Barangkali bukan dia,” ujar suami wanita itu lagi.
“Aku tak begitu yakin,” sahut istrinya.
Suami wanita itu berdiri, menggeliat, menguap dan beberapa kali menendang kaki kursi seraya berucap: “Itulah sebabnya mengapa orang tak boleh memungut anak. Orang tak tahu apa yang ada di dalam diri anak tersebut.”
“Tak akan pernah ada yang tahu, apa yang terdapat dalam diri orang lain,” sahut istrinya pula.
Wanita itu menarik sebuah laci meja, memasukkan tanganya dan meletakkan segulung benang hitam dan jarum jahit di atas meja.
“Buka jaketmu,” ujar wanita itu pada suaminya, “Kancingnyayang paling atas, lepas.”
Scmentara dia melepas jaketnya, laki-laki itu juga memperhatikan bagaimana istrinya berusaha memasukkan benang ke dalam jarum jahit. Dapur itu sangat terang dan jarum itu mempunyai lubang yang besar, tetapi kedua tangan wanita itu gemetar sehingga ia tak kunjung berhasil memasukkan benang itu.
Suami wanita itu meletakkan jaketnya di atas meja dan istrinya masih terus duduk serta berusaha memasukkan benang itu ke dalam jarum, namun tak kunjung berhasil.
“Bacakan sesuatu untukku,” pinta wanita itu ketika ia mengetahui suaminya sedang mengamatinya terus.
“Dari koran?” tanya suaminya.
“Tidak,”' jawab wanita itu, “Dari buku.”
Suami wanita itu lalu pergi ke ruang tamu dan segera kembali dengan membawa buku. Sementara ia meletakkan buku itu di atas meja dan kemudian mencari kacamatanya di dalam tas, terdengar oleh mereka berdua suara kucing mengeong keras di muka jendela.
“Akhirnya datang juga si tukang keluyur itu,” ujar suami wanita itu seraya berdiri dan mencoba membuka kerai jendela, tetapi karena baru saja ditambal dengan selembar seng maka kerai itu tidak dapat dibuka.
“Kau harus melepaskan dulu seng itu,” cetus istrinya.
Suami wanita itu lalu mengambil tang dan mencabut kembali paku dari seng itu. Setelah itu ia membuka kerai jendela dan dalam sekejap meloncat si kucing yang lalu berkelebat berkeliling dapur seperti bayangan batu bara hitam.
“Harus aku memasang kembali seng ini?” tanyanya pada istrinya.
Wanita itu menggelengkan kepalanya. “Sekarang bacakanlah buku itu untukku,” pintanya lagi.
Suami wanita itu lalu mengambil seng tipis bergambar orang negro itu dan menyandarkannya dekat lemari es dan si negro itu nyengir padanya dari bawah. Ia kemudian duduk dan mengambil kacamata dari tempatnya.
“Miez,” panggilnya, dan kucing itu melompat ke pangkuannya serta mulai mendengkur. Ia mengelus-elus punggung kucing itu dengan tangannya dan tiba-tiba terlihat begitu gembira.
“Bacalah,” pinta istrinya lagi. “Dari depan?” tanya suami wanita itu. “Tidak.” jawab wanita itu. “Dari mana saja. Bukalah buku itu di tengah-tengah dan bacalah dari mana saja.” “Itu. kan, tak ada gunanya,” cetus suaminya. “Tentu saja ada gunanya,” bantah wanita itu, “Aku ingin tahu, apakah kita bersalah atau tidak,” tambahnya pula.
Suami wanita itu lalu memakai kacamatanya dan membuka buku itu langsung di tengah-tengah. Buku itu begitu saja diambilnya dalam kegelapan tanpa pilih lagi. Mereka tak memiliki banyak buku. Ia lalu mulai membaca dengan lambat dan berat.
“Akan tetapi aku sekarang memandangnya hampir dengan terkejut karena gerakannya yang begitu teratur dan kuat, rambutnya yang hitam keriting jatuh di keningnya, matanya yang besar bercahaya. Semuanya itu masih saja terlihat seperti gambar di depanku.”
Suami wanita itn masih membacakan beberapa kata, lalu meletakkan begitu saja buku itu di atas meja dan berkata: “Kita tak tahu apa-apa mengenai hal itu.”
“Tidak,” seru wanita itu dan memegang kembali jarum di tangan kirinya dan memasukkan benang ke dalam lubang jarum itu dengan tangan kanannya.
“Mengapa kau ingin tahu benar hal itu?” tanya suaminya. “Setiap orang bersalah dan tidak bersalah. Memikirkan hal itu tak ada gunanya.”
“Jika memang kita bersalah,” ujar wanita itu. “Kita sekarang harus membuka kerai itu lebar-lebar, sehingga setiap orang dari kejauhan pun dapat melihat bahwa kita berada di rumah. Kita juga harus menyalakan lampu halaman dan membuka pintu depan, sehingga setiap orang dapat masuk.”
Suaminya menunjukkan sikap tak berani. Kucing di pangkuannya melompat meluncur ke sudut ruangan di samping keranjang sampah. Di sana sudah ada secangkir kecil susu untuknya. Wanita itu tak lagi mencoba memasukkan benang ke dalam jarum. Ia meletakkan kepalanya di atas meja, di atas jaket suaminya. Suasana begitu heningnya sehingga mereka dapat mendengar suara kucing itu meminum susunya.
“Benarkah kau menginginkan itu?”, tanya suaminya.
“Ya,” jawab wanita itu.
“Juga pintu depan?”, tanya suaminya pula.
“Ya, tolonglah buka.” pinta wanita itu lagi.
“Kamu sendiri, toh, tak yakin bahwa yang berdiri di sudut jalan itu memang dia,” ucap suaminya masih mencoba mengelak, tetapi tak urung ia berdiri juga dan membuka kerai jendela tinggi-tinggi. Pada saat itu ia melihat bahwa semua kerai jendela rumah lainnya tertutup rapat dan hanya ada sedikit pantulan cahaya neon seperti lampu sebuah mercusuar di tengah malam.
“Bukankah juga mungkin bahwa dulu itu memang Hellmuth yang mati terobek-robek pisau dalam suatu perkelahian, sehingga wajahnya pun menjadi rusak,” ujar suami wanita itu.
“Ya mungkin saja,” jawab istrinya. “Ya, jadi?” tanya suami wanita itu.
“Itu tak jadi soal,” cetus wanita itu tetap bersikeras pada pendiriannya.
Suaminya pun lalu pergi ke muka rumah, menyalakan lampu luar dan membuka pintunya lebar-lebar.
Ketika suaminya kembali, wanita itu mengangkat wajahnya dari atas jaket suaminya dan tersenyum pada suaminya.
“Sekarang siapa saja dapat masuk,” ujar suami wanita itu murung.
“Ya,” sahut istrinya dan tersenyum dengan lebih manis. “Sekarang siapa pun tak perlu bersusah payah lagi untuk memecah pintu. Sekarang, sewaktu-waktu mereka dapat saja dengan tiba-tiba berdiri di dapur dengan revolver di tangan.”
“Ya,” sahut wanita itu pula.
“Dan apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya suaminya.
“Menunggu,” jawab wanita itu seraya mengulurkan tangannya dan menarik suaminya untuk duduk di sebelahnya. Suami wanita itu pun duduk dan si kucing segera melompat kembali ke atas pangkuannya.
“Sekarang kau pun dapat menyetel radio,” ujar wanita itu.
Suaminya lalu mengambil radio di atas bufet dan menyetelnya. Terdengar suara musik yang sangat asing dan sebenarnya tidak seperti suara musik. Jika pada hari-hari lainnya tentu ia akan segera mengubah gelombang radio itu, tetapi hari itu sama saja baginya. Ia malah meletakkan kepalanya di bahu suaminya dan memejamkan mata, karena sinar lampu menyilaukan matanya dan juga karena itu ia sangat lelah.
“Sungguh gila, pikir suami wanita itu. Aku dan istriku harus duduk di atas mercusuar dan menunggu kedatangan si penjagal, padahal barangkali yang tadi dilihat istriku bukan anak itu. Barangkali anak itu memang sudah mati.
Suami wanita itu segera menyadari bahwa istrinya sudah mulai tertidur dan ia segera hendak bergerak menutup pintu dan jendela. Namun, sudah lama benar istrinya tak pernah tidur bersandar di bahunya lagi seperti dulu. Istrinya tampak masih seperti dulu, hanya wajahnya sudah sedikit berkerut, tetapi saat itu ia tak melihat kerutan dan uban di kepala istrinya, sehingga benar-benar nampak seperti dulu saja. Dan karena segalanya terlihat seperti dulu, maka ia merasa sayang untuk menarik bahunya karena takut istrinya terbangun dan keadaan kembali seperti semula.
Dari awal lagi, pikirnya. Dari awal kami memang sangat menginginkan seorang anak. Aku selalu mendambakan seorang anak dan kami tak mendapatkannya. Lalu saudara perempuanku menyerahkan anak ketiganya si rambut keriting. Dan datanglah seorang di tangga, seorang anak laki-laki. Jangan melepaskannya, kata Pak Direktur. Jadi tenang, benar-benar tenang. Tenang, sangat tenang, kami tidak mencintainya. Dari si mungil berambut keriting ia berkembang menjadi seekor binatang liar. Masuklah tuan-tuan, semua pintu terbuka. Terbukalah. Istriku tak ingin berbuat lain dan ia tak akan merasa sakit. demikian pikir suami wanita itu meloncat-loncat dalam kelebatan ingatannya tentang masa lalunya.
“Tidak sakit,” ujarnya setengah tertidur. Tanpa sengaja terdengar agak keras sehingga istrinya membuka matanya, tersenyum dan kembali tertidur. Kedua-duanya pun tertidur. Mereka tak melihat bahwa kucing mereka melompat lagi ke luar lewat jendela yang terbuka. Mereka juga tak melihat salju terus berjatuhan dari atas atap dan angin hangat menggerakkan jendela dan fajar pun tiba. Mereka berdua tertidur, bersenderan satu sama lain, nyenyak dan tenang. Dan tak seorang pun datang untuk membunuh mereka.
Benar-benar tak seorang pun datang sepanjang malam itu.