Sejarah Sastra Rusia

Sejarah karya sastra Rusia diawali dengan beberapa karya yang ditulis dalam bahasa Rusia kuno. Karya-karya tersebut misalnya “The Tale of Igor's Campaign” dan “Praying of Daniel the Immured” dan kesemuanya anonim. Karya lain yang mengawali lahirnya kesusasteraan Rusia antara lain Zadonschina, Physiologist, Synopsis and A Journey Beyond the Three Seas...

Sejarah Sastra Di Amerika

Sejarah penulisan karya sastra di Amerika berkaitan erat dengan para imigran yang berasal dari Inggris. Sedikit-banyak kebudayaan dan tren sastra di Britania mempengaruhi apa yang ada di Amerika

Selamat Datang..

Ini adalah halaman karya sastra saya. Blog ini masih dalam pembangunan. Bagi teman-teman yang punya minat sama yaitu sastra siap-siap tukeran link dan sering-sering main ke sini ya..

Selamat Datang..

Ini adalah halaman karya sastra saya. Blog ini masih dalam pembangunan. Bagi teman-teman yang punya minat sama yaitu sastra siap-siap tukeran link dan sering-sering main ke sini ya..

Selamat Datang..

Ini adalah halaman karya sastra saya. Blog ini masih dalam pembangunan. Bagi teman-teman yang punya minat sama yaitu sastra siap-siap tukeran link dan sering-sering main ke sini ya..

Minggu, 29 Januari 2012

Serdadu Tua dan Jipnya

Cerpen Wilson Nadeak

"Sudahlah! Kita hidup dengan gaji kita saja. Tidak perlu pikirkan macam-macam. Usia kepala tujuh bukanlah saat yang tepat untuk merawat mobil tua. Kuno lagi. Onderdil jip itu pun sukar dicari. Biarlah kami menikmati masa tua, Pak. Kulihat kau selalu risau dengan kendaraan itu. Sebentar-sebentar pergi ke tempat anak kita dan memintanya supaya memperbaikinya. Sayang anak kita menghabiskan waktu untuk memperbaiki mobil itu. Mobil adalah beban. Mengapa kau bebani anak kita untuk membuat jip itu dapat berjalan kembali? Bannya saja begitu besar, mahal lagi. Belum lagi keadaan mesinnya yang harus dibongkar pasang, dari awal. Mimpimu pun selalu tentang jip tua itu. Mengapa sih repot-repot dengan kendaraan yang tidak mungkin digunakan lagi? Tanpa surat dan tanpa nomor polisi. Semua serba membingungkan!"

Itulah keluhan sang istri mantan Letnan Kolonel Banun. Ketika Banun membeli jip rongsokan buatan tahun empat puluhan itu dengan uang pensiunnya, sang istri amat gemas. Uang pensiun yang tidak seberapa itu harus dibelikan jip tua. “Kita makan dari mana, pak?”

“Rezeki itu selalu ada, Ma. Percayalah, Tuhan akan memberi makanan bagi kita.”

“Tuhan? Memberi makan dengan cara yang tidak bijaksana?” tanya istrinya yang sudah berusia kepala tujuh. “Memangnya Tuhan itu kasir? Suka-sukamu mengatur Dia?”

“Nanti akan kaulihat,” jawab sang suami.

“Kau yakin betul?”

“Mengapa tidak? Kukira Tuhan yang mengirim jip ini kepada kita.”

“Jawab doamu, yang merindukan sebuah kendaraan?”

“Ya.”

Istrinya geleng-geleng kepala sambil mengusap dadanya yang belakangan ini sering berdebar-debar entah karena apa. “Tetapi bukan mobil seperti ini yang kauminta kepada Tuhan, bukan? Bukankah mobil yang lengkap surat-suratnya, yang dapat digunakan ke mana-mana?”

“Ya, memangnya begitu. Tetapi Tuhan mengirim jip ini, dan kauterima. Bukan kehendak kita, bukan? Kehendak Tuhanlah yang jadi, Ma.”

Lagi-lagi sang istri mengurut dada dan kebetulan sang suami menengoknya.

“Jantungmu jangan sampai kumat gara-gara jip tua ini, Ma. Anggaplah ini hiburan pada masa tua kita. Lihat, itu, mobil Wilys milik anak kita itu. Sudah seratus lima puluh orang yang datang melihat dan menawarnya dengan harga yang tinggi.”

“Mengapa tidak dijual saja dan dipakai sebagai modal untuk berdagang?”

“Sampai sekarang anak kita masih bertahan dengan harga yang diinginkannya. Lagi pula, ia senang mengutak-atik Wilys tuanya itu. Terserah dialah.”

Mantan Letkol Banun yang selalu mengambil pensiun, tetapi tidak diberikan utuh kepada istrinya, alasannya, ada saja onderdil yang harus dibeli.

Mungkin ia tidak memerhatikan kesehatan istrinya yang kadang-kadang mendadak sakit karena merasa nyeri di bagian dada. Entah karena sesuatu, istrinya sering menampik apabila dibawa ke rumah sakit. “Nanti akan sembuh sendiri,” jawabnya kepada suaminya. Sebaliknya, kalau sang suami yang sakit, ia cepat sekali masuk ke rumah sakit militer. Setiap kali suster memberi obat, ia membacanya dengan teliti dan kemudian mengatakan kepada suster bahwa ia tidak mau memakan obat itu.

“Ini obat yang tidak cocok dengan penyakitku, buat apa? Nanti ada efek sampingan!” komentarnya. Suster tidak dapat berbuat apa-apa karena pasiennya malah menceritakan apa akibat kalau makan obat itu. Hanya obat yang murah dan sederhana yang ditelannya. “Perut saya bukan gudang obat dan bukan pula laboratorium percobaan,” katanya, yang membuat suster keluar dari ruangan tanpa kata-kata.

Kalau berminggu-minggu ia terbaring sakit di rumah sakit tentara, orang yang menjenguknya selalu terheran-heran karena ia penuh semangat bercerita tentang masa lalunya yang kaya dengan pengalaman derita. Dokter menasihatkan agar ia tidak terlalu banyak bercerita, tetapi ia tidak peduli. “Ah, saya yang lebih tahu mengenai penyakit saya,” katanya.

Sekalipun kadang-kadang ia pincang karena borok yang ada di kakinya, ia selalu tampak gembira. “Penyakit harus dilawan! Obat itu racun! Nanti luka ini akan sembuh sendiri.”

Barangkali itulah resep hidup yang diyakininya, yang membuatnya melewati ulang tahun pernikahan emas. Anak-anaknya kadang-kadang cemas juga melihat kondisinya kalau jatuh sakit, tetapi dia sendiri tetap optimis. Ia senang bercerita kepada cucu-cucu dan menantunya, mengenai masa lalu yang penuh dengan pergolakan hidup. Ia seorang penutur masa lampau yang menarik, pencerita yang baik dan detail. Ketika ia bercerita, menantu dan cucu-cucunya asyik mendengarkan. Istrinya yang kadang-kadang mengusiknya dengan berkata, “Sudahlah, Pak. Jangan cerita tentang masa lalu saja. Masa lalu dan masa lalu! Sudah bau tanah pula!”

Banun tidak marah. Ia memang kerap kali bertengkar, berbeda pendapat. Bahkan berhari-hari tidak saling menyapa, yang membuat anak-anaknya bertingkah serba salah. Ketika mereka berdamai, ia berkata, “Itulah orang tua. Tinggal menghitung hari-hari tua, dan menerima masa mendatang apa adanya.” Mendengar itu, anak-anak mengangguk dan cucunya dengan ringannya bersenandung, “Perdamaian, perdamaian….”

Sang istri mengalah soal jip tuanya. Kalau uang pensiun berkurang, ia bersikap diam. Tampaknya ia tahu bahwa suaminya sering menyurati anak-anak supaya membantu mereka tiap bulan karena uang pensiun tidak cukup untuk kondisi perekonomian sekarang ini. Tentu tanpa menyebut-nyebut jip tua itu. Dan sang istri kenyataannya sering menerima kiriman uang dari anak-anaknya yang sudah bekerja di kota pulau lain.

Sekali iparnya datang berkunjung ke rumahnya. Ia menunjukkan jip tua yang sedang diperbaiki secara total. Ia mengandalkan kemahiran anaknya memperbaiki kendaraan.

“Mengapa Ipar tertarik dengan jip tua ini?”

“Nah, ini pertanyaan yang kusukai. Selama ini istriku selalu ngomel karena aku membelinya. Macam-macam keluhan yang dikatakannya dari hari ke hari, sampai aku menjadi jemu. Dan ia pun berhenti sendiri mengomel. Karena Ipar menanyakan soal ?tertarik? maka aku akan menceritakannya. Begini.”

Mantan Letkol Banun bertutur.

Saat itu, sekitar tahun 1947 atau tahun 1948. Ya, persisnya aku tidak tahu. Yang jelas aku berusia kira-kira 17 tahun. Pasukan kami terperangkap di sebuah medan tempur, dekat danau. Kami yang menyergap iring-iringan pasukan Belanda di tikungan, kehabisan peluru. Sebagian lari ke gunung berhutan dan sebagian lagi ada yang tewas tergeletak tanpa ada yang mengangkutnya. Aku sendiri berusaha lari ke kaki bukit. Namun peluru berdesingan di atas kepala sehingga aku tiarap di tanah. Tahu-tahu, sebuah laras senapan sudah diarahkan ke kepalaku sambil terdengar teriakan, “Berdiri! Kalau tidak kutembak!”

Aku berdiri sambil menaruh kedua tangan di kepala bagian belakang. Aku digiring ke kendaraan militer yang ada di tikungan. Aku didorong masuk ke dalam truk militer. Sejam kemudian pasukan itu tiba di barak-barak militer yang tidak jauh dari tepi danau.

Aku segera dibawa ke tempat interogasi. Serang prajurit yang beringas, berkulit lebih gelap dari kulitku, menampar mukaku dan kemudian mendorongku ke dinding. Kedua tanganku terikat ke belakang. Pukulannya menghunjam di perut membuat aku menjerit dan hampir muntah. Dadaku ditonjoknya dengan keras yang membuatku mengerang dan jatuh terduduk.

“Kau ekstremis, ya! Mengaku!” katanya sambil menendang kakiku dengan ujung tumit sepatu larsnya. Aku nyaris rebah. “Jawab! Monyet kamu, ya?”

Rasa sakit terasa di sekujur tubuh. Ia menyiram tubuhku dengan air yang membuat luka di kakiku terasa nyeri dan pedih. “Kau teroris! Ekstremis keparat! Ayo, mengaku!” Ditendangnya tubuhku sampai terbujur di lantai. Tubuhku menjadi basah karena air yang menggenang di lantai. “Kalau kau tidak mengaku, tubuhmu akan disetrom. Ia memutar-mutar baterai di depan mataku, mengambil sebuah engkol dan menyambungkannya dengan kabel yang hendak dibelitkan ke tubuhku. Aku menjadi ngeri dan mengaduh. “Ayo, mengaku!”

Sebelum arus listrik menyentuh sekujur tubuhku dengan perlahan aku mengaku. “Ya,” jawabku.

“Nah, bagus!” katanya sambil menyeringai. “Itu lebih baik bagimu.”

Ia membuka tali ikatan tanganku. Menarikku supaya berdiri dengan entakkan yang keras sehingga tubuhku terayun dan lenganku terasa nyeri.

Dengan kepala dan tubuh yang basah disuruhnya aku duduk di depan meja tua. Ia duduk di seberang meja dan mulai menulis di atas kertas.

Ia menanyakan namaku, asal, nama orangtua, nama saudara, kawan sekampung, nama pasukan, siapa komandan, siapa yang menyuruh memerangi Belanda, dan masih banyak pertanyaan lainnya.

Kujawab seadanya. Kepalaku masih pusing. Entahkah nama orang yang kusebut betul atau tidak, aku tidak tahu. Sekadar menyebut nama saja. Lalu ia menyodorkan secarik kertas kepadaku untuk ditandatangani.

Aku dimasukkan ke dalam kamar tahanan. Kulihat di sana ada beberapa orang yang babak belur, tergeletak di lantai. Yang lain bersandar di dinding dengan pandang mata yang nanap. Ada yang kukenal dan aku bersikap seperti tidak mengenal. Ia pun bersikap demikian. Aku tidak tahu siapa lawan siapa kawan. Kurasa, di dalam tahanan itu pastilah ada mata-mata, kuduga, mereka yang tidak ada luka di tubuh.

Dalam dua minggu di rumah tahanan itu, aku melihat orang yang dibawa dan tidak pernah kembali. Pada suatu hari, aku dipanggil dan kukira itulah akhir hidupku. Aku dibawa ke rumah komandan pasukan Belanda yang baru saja diganti. Ia baru kembali di negeri Belanda setelah negeri itu dibebaskan dari pasukan penjajahan Jerman.

Prajurit yang membawaku menghadap komandan itu mengatakan bahwa aku adalah ekstremis yang tertangkap dalam pertempuran beberapa minggu yang lalu. Pak Komandan menerima penyerahanku dan menempatkan aku tidak jauh dari barak tempat pengawalnya berjaga.

Akhirnya aku tahu bahwa nama komandan pasukan Belanda itu adalah Kapten Van den Bosch. Setiap hari ia memanggil aku. Hari pertama ia menanyaiku dan yang pertama ditanyakannya bukan siapa namaku, melainkan, “Berapa umurmu.” Kujawab bahwa umurku enam belas tahun. Aku menguranginya satu tahun. Ia mengangguk-anggukkan kepala sambil berkata, “Kau masih anak-anak. Anak-anak tidak baik memegang senjata.”

Kutahu kemudian bahwa van den Bosch pernah bertugas di Betawi, Pulau Jawa, sebelum Perang Dunia II meletus, dan paham bahasa Melayu.

“Nak,” katanya. “Tugasmu setiap hari adalah membersihkan kendaraan di sini. Semua kendaraan yang ada di sini harus kau bersihkan setiap hari. Khusus jip komandan, kau harus bersihkan sampai mengilap, rapi. Ambil air dari danau. Mengerti? Laksanakan!”

Maka tugasku setiap hari mengangkat air dari tepi danau dan mencuci semua kendaraan yang ada. Tentu yang pertama kuurus ialah jip komandan, van den Bosch. Setiap pagi aku ke tepi danau, mengisi ember dan mengikutinya untuk mencuci kendaraan. Kulihat nelayan yang pulang pagi membawa ikan hasil tangkapannya. Sesekali aku ngobrol dengan mereka. Tetapi aku harus hati-hati karena mereka pun pastilah bagian dari kaki tangan Belanda. Tidak ada nelayan yang sebebas mereka bila tidak ada kaitannya dengan tentara Belanda.

Pada suatu sore Kapten van den Bosch memanggilku ke kantornya. Hal itu jarang terjadi. Baru kali ini aku dipanggil secara khusus.

“Nak, aku kasihan padamu. Usiamu masih amat muda. Tidak pantas kau bertempur di medan perang. Karena itu, begini saja. Nanti sore, menjelang hari gelap, kau kempeskan semua ban kendaraan. Semua saja. Lalu kau lari minta tolong kepada nelayan yang selalu berada di dekat pantai itu. Mengerti?”

Aku terkesiap. Apakah ini sebuah jebakan? Van den Bosch mengulang, “Mengerti?”

“Ya,” Kataku gugup.

“Laksanakan!”

Aku keluar dan segera mengangkat ember dan kembali mencuci kendaraan yang ada sampai gelap tiba. Satu demi satu ban kendaraan kukempeskan, juga jip komandan. Kemudian aku menyelinap setelah kurasa situasi aman, bergegas ke tepi danau dan betul di sana ada nelayan yang duduk di atas perahu. Kukatakan kepadanya bahwa komandan menyuruhku lari. “Betul?” Jawab nelayan itu. “Ya,” jawabku. Dan ia membawa aku menjauh dari pantai dan di tengah kegelapan malam, aku tiba di sebuah perkampungan yang aman dari jangkauan tentara Belanda dan aku bergabung kembali dengan induk pasukan.

Mantan Letkol Banun berhenti sejenak menarik napas.

“Ipar,” katanya meneruskan ceritanya, “jip ini mengingatkan aku selalu kepada van den Bosch. Kalau jip ini sudah selesai dilengkapi maka di bagian belakang ini, di atas nomor pelat, akan kutulis besar-besar dari ujung kiri ke ujung kanan: VAN DEN BOSCH, dan di bagian atas akan kukibarkan bendera Merah Putih yang terbuat dari bahan pelat yang sebesar bendera biasa.”

Sang Ipar mengangguk mengerti.***

Bandung, 9 Februari 2007
(Dimuat di Kompas, 04/29/2007)

Jumat, 27 Januari 2012

SERIBU KUNANG-KUNANG DI MANHATTAN

Cerpen karya Umar Khayam


Mereka duduk bermalas-malasan di sofa. Marno dengan segelas scotch dan Jane dengan segelas martini. Mereka sama-sama memandang ke luar jendela.
“Bulan itu ungu, Marno.”
“Kau tetap hendak memaksaku untuk percaya itu ?”
“Ya, tentu saja, Kekasihku. Ayolah akui. Itu ungu, bukan?”
“Kalau bulan itu ungu, apa pula warna langit dan mendungnya itu?”
“Oh, aku tidak ambil pusing tentang langit dan mendung. Bulan itu u-ng-u! U-ng-u! Ayolah, bilang, ungu!”
“Kuning keemasan!”
“Setan! Besok aku bawa kau ke dokter mata.”
Marno berdiri, pergi ke dapur untuk menambah air serta es ke dalam gelasnya, lalu dia duduk kembali di sofa di samping Jane. Kepalanya sudah terasa tidak betapa enak.
“Marno, Sayang.”
“Ya, Jane.”
“Bagaimana Alaska sekarang?”
“Alaska? Bagaimana aku tahu. Aku belum pernah ke sana.”
“Maksudku hawanya pada saat ini.”
“Oh, aku kira tidak sedingin seperti biasanya. Bukankah di sana ada summer juga seperti di sini?”
“Mungkin juga. Aku tidak pernah berapa kuat dalam ilmu bumi. Gambaranku tentang Alaska adalah satu padang yang amat l-u-a-s dengan salju, salju dan salju.Lalu di sana-sini rumah-rumah orang Eskimo bergunduk-gunduk seperti es krim panili.”
“Aku kira sebaiknya kau jadi penyair, Jane. Baru sekarang aku mendengar perumpamaan yang begitu puitis. Rumah Eskimo sepeti es krim panili.”
“Tommy, suamiku, bekas suamiku, suamiku, kautahu …. Eh, maukah kau membikinkan aku segelas ….. ah, kau tidak pernah bisa bikin martini. Bukankah kau selalu bingung, martini itu campuran gin dan vermouth atau gin dan bourbon? Oooooh, aku harus bikin sendiri lagi ini …. Uuuuuup ….”
Dengan susah payah Jane berdiri dan dengan berhati-hati berjalan ke dapur. Suara gelas dan botol beradu, terdengar berdentang-dentang.
Dari dapur, “bekas suamiku, kautahu ….. Marno, Darling.”
“Ya, ada apa dengan dia?”
“Aku merasa dia ada di Alaska sekarang.”
Pelan-pelan Jane berjalan kembali ke sofa, kali ini duduknya mepet Marno.
“Di Alaska. Coba bayangkan, di Alaska.”
“Tapi Minggu yang lalu kaubilang dia ada di Texas atau di Kansas. atau mungkin di Arkansas.”
“Aku bilang, aku me-ra-sa Tommy berada di Alaska.”
“Oh.”
“Mungkin juga dia tidak di mana-mana.”
Marno berdiri, berjalan menuju ke radio lalu memutar knopnya. Diputar-putarnya beberapa kali knop itu hingga mengeluarkan campuran suara-suara yang aneh. Potongan-potongan lagu yang tidak tentu serta suara orang yang tercekik-cekik. Kemudian dimatikannya radio itu dan dia duduk kembali di sofa.
“Marno, Manisku.”
“Ya, Jane.”
“Bukankah di Alaska, ya, ada adat menyuguhkan istri kepada tamu?”
“Ya, aku pernah mendengar orang Eskimo dahulu punya adat-istiadat begitu. Tapi aku tidak tahu pasti apakah itu betul atau karangan guru antropologi saja.”
“Aku harap itu betul. Sungguh, Darling, aku serius. Aku harap itu betul.”
“Kenapa?”
“Sebab, seee-bab aku tidak mau Tommy kesepian dan kedinginan di Alaska. Aku tidak maaau.”
“Tetapi bukankah belum tentu Tommy berada di Alaska dan belum tentu pula sekarang Alaska dingin.”
Jane memegang kepala Marno dan dihadapkannya muka Marno ke mukanya. Mata Jane memandang Marno tajam-tajam.
“Tetapi aku tidak mau Tommy kesepian dan kedinginan! Maukah kau?”
Marno diam sebentar. Kemudian ditepuk-tepuknya tangan Jane.
“Sudah tentu tidak, Jane, sudah tentu tidak.”
“Kau anak yang manis, Marno.”
Marno mulai memasang rokok lalu pergi berdiri di dekat jendela. Langit bersih malam itu, kecuali di sekitar bulan. Beberapa awan menggerombol di sekeliling bulan hingga cahaya bulan jadi suram karenanya. Dilongokknannya kepalanya ke bawah dan satu belantara pencakar langit tertidur di bawahnya. Sinar bulan yang lembut itu membuat seakan-akan bangunan-bangunan itu tertidur dalam kedinginan. Rasa senyap dan kosong tiba-tiba terasa merangkak ke dalam tubuhnya.
“Marno.”
“Ya, Jane.”
“Aku ingat Tommy pernah mengirimi aku sebuah boneka Indian yang cantik dari Oklahoma City beberapa tahun yang lalu. Sudahkah aku ceritakan hal ini kepadamu?”
“Aku kira sudah, Jane. Sudah beberapa kali.”
“Oh.”
Jane menghirup martini-nya empat hingga lima kali dengan pelan-pelan. Dia sendiri tidak tahu sudah gelas yang keberapa martini dipegangya itu.
Lagi pula tidak seorang pun yang memedulikan.
“Eh, kau tahu, Marno?”
“Apa?”
“Empire State Building sudah dijual.”
“Ya, aku membaca hal itu di New York Times.”
“Bisakah kau membayangkan punya gedung yang tertinggi di dunia?”
“Tidak. Bisakah kau?”
“Bisa, bisa.”
“Bagaimana?”
“Oh, tak tahulah. Tadi aku kira bisa menemukan pikiran-pikiran yang cabul dan lucu. Tapi sekarang tahulah ….”
Lampu-lampu yang berkelipan di belantara pencakar langit yang kelihatan dari jendela mengingatkan Marno pada ratusan kunang-kunang yang suka bertabur malam-malam di sawah embahnya di desa.
“Oh, kalau saja …..”
“Kalau saja apa, Kekasihku?”
“Kalau saja ada suara jangkrik mengerik dan beberapa katak menyanyi dari luar sana.”
“Lantas?”
“Tidak apa-apa. Itu kan membuat aku lebih senang sedikit.”
“Kau anak desa yang sentimental!”
“Biar!”
Marno terkejut karena kata “biar” itu terdengar keras sekali keluarnya.
“Maaf, Jane. Aku kira scotch yang membuat itu.”
“Tidak, Sayang. Kau merasa tersinggung. Maaf.”
Marno mengangkat bahunya karena dia tidak tahu apa lagi yang mesti diperbuat dengan maaf yang berbalas maaf itu.
Sebuah pesawat jet terdengar mendesau keras lewat di atas bangunan apartemen Jane.
“Jet keparat!”
Jane mengutuk sambil berjalan terhuyung ke dapur. Dari kamar itu Marno mendengar Jane keras-keras membuka kran air. Kemudian dilihatnya Jane kembali, mukanya basah, di tangannya segelas air es.
“Aku merasa segar sedikit.”
Jane merebahkan badannya di sofa, matanya dipejamkan, tapi kakinya disepak-sepakkannya ke atas. Lirih-lirih dia mulai menyanyi : deep blue sea, baby, deep blue sea, deep blue sea, baby, deep blue sea ……
“Pernahkah kau punya keinginan, lebih-lebih dalam musim panas begini, untuk telanjang lalu membiarkan badanmu tenggelam dalaaammm sekali di dasar laut yang teduh itu, tetapi tidak mati dan kau bisa memandang badanmu yang tergeletak itu dari dalam sebuah sampan?”
“He? Oh, maafkan aku kurang menangkap kalimatmu yang panjang itu. Bagaimana lagi, Jane?”
“Oh, lupakan saja. Aku Cuma ngomong saja. Deep blue sea, baby, deep blue, deep blue sea, baby, deep blue sea ….”
“Marno.”
“Ya.”
“Kita belum pernah jalan-jalan ke Central Park Zoo, ya?”
“Belum, tapi kita sudah sering jalan-jalan ke Park-nya.”
“Dalam perkawinan kami yang satu tahun delapan bulan tambah sebelas hari itu, Tommy pernah mengajakku sekali ke Central Park Zoo. Ha, aku ingat kami berdebat di muka kandang kera. Tommy bilang chimpansee adalah kera yang paling dekat kepada manusia, aku bilang gorilla. Tommy mengatakan bahwa sarjana-sarjana sudah membuat penyelidikan yang mendalam tentang hal itu, tetapi aku tetap menyangkalnya karena gorilla yang ada di muka kami mengingatkan aku pada penjaga lift kantor Tommy. Pernahkah aku ceritakan hal ini kepadamu?”
“Oh, aku kira sudah, Jane. Sudah beberapa kali.”
“Oh, Marno, semua ceritaku sudah kau dengar semua. Aku membosankan, ya, Marno? Mem-bo-san-kan.”
Marno tidak menjawab karena tiba-tiba saja dia merasa seakan-akan istrinya ada di dekat-dekat dia di Manhattan malam itu. Adakah penjelasannya bagaimana satu bayang-bayang yang terpisah beribu-ribu kilometer bisa muncul begitu pendek?
“Ayolah, Marno. Kalau kau jujur tentulah kau akan mengatakan bahwa aku sudah membosankan. Cerita yang itu-itu saja yang kau dengar tiap kita ketemu. Membosankan, ya? Mem-bo-san-kan!”
“Tapi tidak semua ceritamu pernah aku dengar. Memang beberapa ceritamu sudah beberapa kali aku dengar.”
“Bukan beberapa, Sayang. Sebagian besar.”
“Baiklah, taruhlah sebagian terbesar sudah aku dengar.”
“Aku membosankan jadinya.”
Marno diam tidak mencoba meneruskan. Disedotnya rokoknya dalam-dalam, lalu dihembuskannya lagi asapnya lewat mulut dan hidungnya.
“Tapi Marno, bukankah aku harus berbicara? Apa lagi yang bisa kukerjakan kalau aku berhenti bicara? Aku kira Manhattan tinggal tinggal lagi kau dan aku yang punya. Apalah jadinya kalau salah seorang pemilik pulau ini jadi capek berbicara? Kalau dua orang terdampar di satu pulau, mereka akan terus berbicara sampai kapal tiba, bukan?”
Jane memejamkan matanya dengan dadanya lurus-lurus telentang di sofa. Sebuah bantal terletak di dadanya. Kemudian dengan tiba-tiba dia bangun, berdiri sebentar, lalu duduk kembali di sofa.
“Marno, kemarilah, duduk.”
“Kenapa? Bukankah sejak sore aku duduk terus di situ.”
“Kemarilah, duduk.”
“Aku sedang enak di jendela sini, Jane. Ada beribu kunang-kunang di sana.”
“Kunang-kunang?”
“Ya.”
“Bagaimana rupa kunang-kunang itu? Aku belum pernah lihat.”
“Mereka adalah lampu suar kecil-kecil sebesar noktah.”
“Begitu kecil?”
“Ya. Tetapi kalau ada beribu kunang-kunang hinggap di pohon pinggir jalan, itu bagaimana?”
“Pohon itu akan jadi pohon-hari-natal.”
“Ya, pohon-hari-natal.”
Marno diam lalu memasang rokok sebatang lagi. Mukanya terus menghadap ke luar jendela lagi, menatap ke satu arah yang jauh entah ke mana.
“Marno, waktu kau masih kecil ….. Marno, kau mendengarkan aku, kan?”
“Ya.”
“Waktu kau masih kecil, pernahkah kau punya mainan kekasih?”
“Mainan kekasih?”
“Mainan yang begitu kau kasihi hingga ke mana pun kau pergi selalu harus ikut?”
“Aku tidak ingat lagi, Jane. Aku ingat sesudah aku agak besar, aku suka main-main dengan kerbau kakekku, si Jilamprang.”
“Itu bukan mainan, itu piaraan.”
“Piaraan bukankah untuk mainan juga?”
“Tidak selalu. Mainan yang paling aku kasihi dahulu adalah Uncle Tom.”
“Siapa dia?”
“Dia boneka hitam yang jelek sekali rupanya. Tetapi aku tidak akan pernah bisa tidur bila Uncle Tom tidak ada di sampingku.”
“Oh, itu hal yang normal saja, aku kira. Anakku juga begitu. Punya anakku anjing-anjingan bernama Fifie.”
“Tetapi aku baru berpisah dengan Uncle Tom sesudah aku ketemu Tommy di High School. Aku kira, aku ingin Uncle Tom ada di dekat-dekatku lagi sekarang.”
Diraihnya bantal yang ada di sampingnya, kemudian digosok-gosokkannya pipinya pada bantal itu. Lalu tiba-tiba dilemparkannya lagi bantal itu ke sofa dan dia memandang kepala Marno yang masih bersandar di jendela.
“Marno, Sayang.”
“Ya.”
“Aku kira cerita itu belum pernah kaudengar, bukan ?”
“Belum, Jane.”
“Bukankah itu ajaib? Bagaimana aku sampai lupa menceritakan itu sebelumnya.”
Marno tersenyum
“Aku tidak tahu, Jane.”
“Tahukah kau? Sejak sore tadi baru sekarang kau tersenyum. Mengapa?”
Marno tersenyum
“Aku tidak tahu, Jane. Sungguh.”
Sekarang Jane ikut tersenyum.
“Oh, ya, Marno, manisku. Kau harus berterima kasih kepadaku. Aku telah menepati janjiku.”
“Apakah itu, Jane?”
“Piyama. Aku telah belikan kau piyama, tadi. Ukuranmu medium-large, kan? Tunggu, ya ……”
Dan Jane, seperti seekor kijang yang mendapatkan kembali kekuatannya sesudah terlalu lama berteduh, melompat-lompat masuk ke dalam kamarnya. Beberapa menit kemudian dengan wajah berseri dia keluar kembali dengan sebuah bungkusan di tangan.
“Aku harap kausuka pilihanku.”
Dibukanya bungkusan itu dan dibeberkannya piyama itu di dadanya.
“Kausuka dengan pilihanku ini?”
“Ini piyama yang cantik, Jane.”
“Akan kau pakai saja malam ini. Aku kira sekarang sudah cukup malam untuk berganti dengan piyama.”
Marno memandang piyama yang ada di tangannya dengan keraguan.
“Jane.”
“Ya, Sayang.”
“Eh, aku belum tahu apakah aku akan tidur di sini malam ini.”
“Oh? Kau banyak kerja?”
“Eh, tidak seberapa sesungguhnya. Cuma tak tahulah ….”
”Kaumerasa tidak enak badan?”
“Aku baik-baik saja. Aku …. eh, tak tahulah, Jane.”
“Aku harap aku mengerti, Sayang. Aku tak akan bertanya lagi.”
“Terima kasih, Jane.”
“Terserahlah. Cuma aku kira, aku tak akan membawanya pulang.”
“Oh”.
Pelan-pelan dibungkusnya kembali piyama itu lalu dibawanya masuk ke dalam kamarnya. Pelan-pelan Jane keluar kembali dari kamarnya.
“Aku kira, aku pergi saja sekarang, Jane.”
“Kau akan menelpon aku hari-hari ini, kan?”
‘Tentu, Jane.”
“Kapan, aku bisa mengharapkan itu?
“Eh, aku belum tahu lagi, Jane. Segera aku kira.”
“Kau tahu nomorku kan? Eldorado”
“Aku tahu, Jane.”
Kemudian pelan-pelan diciumnya dahi Jane, seperti dahi itu terbuat dari porselin. Lalu menghilanglah Marno di balik pintu, langkahnya terdengar sebentar dari dalam kamar turun tangga.
Di kamarnya, di tempat tidur sesudah minum beberapa butir obat tidur, Jane merasa bantalnya basah.

Sabtu, 21 Januari 2012

Gundar Sepatu

Cerpen karya A.A. Navis

Bagi orang parlente gundar sepatu, penting. Karena setiap ke luar rumah, sepatu harus mengkilap. Bagaimana sepatu bisa mengkilap kalau tidak digundar setiap hari.Di hotel berbintang, tempat golongan elite biasa menginap, gundar sepatu memang tidak disediakan. Yang disediakan flanel berbentuk kantong kecil. Masukkan tangan kedalamnya, lalu sekakan ke sepatu. Kalau sepatu itu kumal betul, panggil pelayan hotel untuk membersihkan. Tapi mana ada orang elite keluar masuk hotel dengansepatu berlumpur?
Dalam masa perang gerilya, gundar sepatu menjadi lebih penting fungsinya dibandingkan kebutuhan sepatu orang elite. Banyak pejabat dan pejuang menyimpan gundar sepatu di kantong atau di ranselnya, meski kemana-mana mereka memakai sandal dari ban bekas mobil.
Begini ceritanya, menurut Si Dali.
Sekali pagi terjadi heboh besar. Sersan Bidai merazia semua ransel anggota rombongannya sambil menodongkan pestol rakitan lokal. Mencari miliknya yang hilang. Miliknya yang hilang itu ditemukan dalam ransel Letnan Tondeh. Tak seorangpun menyangka yang mencuri seorang letnan. Lebih tidak ada yang menduga kalau letnan itu mencuri gundar sepatu sersan yang anak buahnya. Bahkan tidak ada yang tidak heran, kalau sersan itu sampai kalap hingga menodongkan pestol karena hilangnya sebuah gundar sepatu saja. Apa benarlah pentingnya gundar sepatu.Peristiwa itu sampai ke telinga komandan batalyon. Menurutnya, seorang sersan menodongkan pestol kepada seorang letnan itu merupakan pelanggaran berat. Benar-benar berat. Si sersan ditangkap. Tapi di daerah gerilya mana ada rumah tahanan provos. Namun hukuman tetap dijatuhkan. Pestolnya dilucuti. Pangkatnya diturunkan jadi kopral. Nyalinya pun copot. Dalam pemeriksaan, dia mengaku sangat marah karena gundar sepatunya dicuri.
Mendengar laporan bahwa seorang letnan sampai mau mencuri gundar sepatu anak buahnya sendiri, Mayor Segeh yang komandan batalyon, memanggil Letnan Tondeh.Tidak masuk pada akalnya, seorang perwira yang kemana-mana memakai sandal dari ban bekas mobil, sampai mau mencuri gundar sepatu anak buahnya sendiri.
"Mencuri gundar sepatu lagi. Itu merusak martabat perwira namanya. Bikin malukamu. Bagaimana mungkin kita bisa menang perang kalau perwira sudah sampai mau mencuri milik anak buah sendiri. Bagaimana macamnya republik ini bila perwiranya sekonyol kamu?" kata Mayor Segeh kepada Letnan Tondeh.
"Gundar sepatu saya hilang. Saya perlu gantinya." kata letnan itu.
"Buat apa gundar sepatu, toh, kamu tidak pakai sepatu?"
"Dan ketika komandan mendengar keterangan letnan itu arti gundar sepatu sendiri, si Mayor tertawa terpingkal-pingkal sampai air matanya berderai. Kemudian,setelah ujung ketawanya mereda, kata mayor itu:
"Jadi? Setiap malam, setiap matamu tidak bisa tidur, kamu elus bulu gundar sepatu itu dengan ujung jarimu.Begitu?"
"Ya. Begitulah."
"Kenapa kamu tidak kawin saja?"
"Teman-teman sudah ambil semua, Mayor. Malah ada yang ambil dua." jawab LetnanTondeh.
"Jangan menyindir, ya?" kata Mayor Segeh sambil memlototkan matanya, karena selama perang mayor itu sudah punya dua bini.
Menurut desas-desus, setelah peristiwa itu, banyak gundar sepatu dipesan ke kota oleh orang-orang di daerah gerilya itu. Mereka membawa gundar sepatu kemana pun mereka pergi.
Ya, setelah desas-desus yang sampai ke telinga Si Dali, lalu Si Dali bercerita.
Tak lama setelah heboh gundar sepatu itu daerah kedudukan pasukan kami diserbu musuh. Kami sempat menyingkir ke hutan. Beruntunglah tak seorang pun yang terbunuh. Setelah musuh kembali waktu sore, aku kembali ke pangkalan dengan tertatih-tatih. Yang bernama pangkalan kami terdiri hanya enam rumah kayu kecil-kecil, disamping pondok-pondok dari ilalang yang bertebaran yang kami buat.
Penduduk menamakannya taratak. Di sekitar itu berpencar banyak teratak lagi, yang menjadi tempat tumpangan para pimpinan gerilyawan militer atau sipil. Taratak kami porak poranda. Semua benda bertebaran di tanah. Pecah dan peot. Terkapar seperti petinju kena K.O. Semua orang yang berseragam hijau utuh atau bukan,dan yang orang sipil berpencar-pencar. Bungkuk merukuk-rukuk mencari dan memungut sisa benda milik mereka yang masih utuh atau yang masih bisa dipakai.
Maruhum, seorang camat, yang dimasa perang gerilya itu diangkat jadi Wedana Militer adalah salah seorang penghuni taratak. Waktu aku tiba dia duduk di bawah naungan pohon nangka. Seluruh buah pohon itu, yang muda sampai yang putik, dirontokan musuh yang menyerbu seperti badai. Dagu Maruhum bertopang pada kedua lututnya.Termangu seperti orang yang kepalanya hampa. Boleh jadi juga hatinya tengah melolong atau tersedu.Semua orang, demi melihat aku tiba, pada menggeleng kepala sambil melirikkan matake arah Maruhum. Seperti mereka merasa tahu apa yang dirisaukan Maruhum. Menurutku, dalam pikiran mereka, Maruhum risau oleh kehilangan benda yang paling disayangi. Apalagi kalau bukan gundar sepatu. Kesanku juga begitu. Akupun menggelengkan kepala. Tapi bukan karena Maruhum yang risau oleh kehilangan benda yang sesungguhnya tidak akan memenangkan perang masa itu. Melainkan karena aku ingat betapa pentingnya arti gundar sepatu oleh Sersan Bidai sehingga dia sampai berani menodongkan pestol pada Letnan Tondeh.
Menurutku, sebagai Wedana Militer, tugas Maruhum tidak jelas. Selain menghadiri rapat bila ada panggilan Gubernur Militer atau Bupati Militer. Makanya aku anggap fungsinya tidak lebih penting dari gundar sepatu bagi prajurit yang terpisah dengan istri demi memelihara moril gerilyanya.
Namun sekali waktu Maruhum berkata padaku, menurut Pak Rasjid, Gubernur Militer,jabatannya itu penting. Sesuai menurut hukum internasional, suatu negara baru sah keberadaannya, bila ada wilayahnya, ada rakyatnya, ada pemerintahannya. Meskip residen negara itu ditawan, tapi masih ada pimpinan pemerintahan seperti Sjafruddin Prawiranegara. Suatu pemerintahan yang sah, mesti ada organisasi dan stafnya. Itulah fungsi Wedana Militer. Suatu bangsa yang cuma punya berisi-isi tentera saja, betapun kuatnya, tidaklah akan diakui internasional sebagai negara.Paling-paling akan dianggap sebagai gerombolan saja.
Aku mendekati Maruhum. Aku pun duduk bersandar ke pohon nangka itu. Setangkai ranting aku pungut. Ujungnya aku congkel-congkelkan ke tanah sambil mencari bahan bicara. Dalam pikiranku, tanpa gundar sepatu pun orang bisa memenuhi kebutuhan biologisnya di hutan rimba sekalipun.
"Ada apa, Bung Wed?" tanyaku akhirnya dengan menyingkatkan sebutan Wedana sebagaimana lazimnya orang seusia masa itu.
"Tidak apa-apa." kata Maruhum dengan lesu setelah menarik nafas panjang dankemudian melepaskannya.
"Ada yang hilang?"
Pertanyaan itu tidak berjawab. Aku kembali mencari-cari bahan pertanyaan lain. Lamajuga saat berlalu.
"Apa perang ini masih akan lama, Bung?" akhirnya Maruhumbertanya.
"Bisa jadi. Mengapa?"<
"Belanda ini bandel betul. Taruhlah dia sudah menguasai seluruh negeri ini. Kita kalah.Pemimpin kita di bui. Apakah rakyat yang sudah merasakan nikmat merdeka,pejuang yang sudah biasa bertempur, akan diam-diam saja dibawah penjajahanBelanda itu nanti? Tidak, toh. Perang mungkin sudah selesai, tapi permusuhan akanterus berlangsung. Begitu, kan?" Maruhum berbicara dengan suaranya yang letih.
Seperti tidak memerlukan tanggapan. Dia melanjutkan.
"Menurut Gubernur Militer,Pak Rasjid, Belanda tahu mereka tidak akan menang dalam perang ini. Serangan Belanda ini, tidak lain dari usaha mereka untuk memaksa kita ke meja perundingan.Demi menghindarkan kehilangan mukanya. Mereka tangkap Bung Karno dan Bung Hatta. Lalu, mereka hanya mau berunding dengan kedua pemimpin yang ditawan itu.Tidak dengan Sjafruddin. Berunding dengan orang yang ditawan lebih gampang menekannya, bukan? Ingat sejarah Diponegoro, Imam Bonjol. Belanda berunding setelah mereka itu ditawan."
"Semua orang bicara begitu." kataku asal bicara.
"Bila perang ini selesai, dengan perundingan atau bukan akan banyak persoalan timbul.Lebih rumit dari peperangan ini." kata Maruhum setelah lama dia terdiam.
"Umpamanya?"
Mulut Maruhum terkatup. Dagunya kembali diletakkan ke lututnya. Bayang-bayang pohon nangka sudah tak kelihatan lagi. Sudah hampir sama gelapnya dengan senjayang kian larut. Orang-orang mencari miliknya pada puing-puing rumah yang dirobohkan musuh itu, sudah tidak ada lagi.
"Para prajurit naik pangkat, tentera pelajar ke sekolah tinggi dengan cuma-cuma.Gubernur jadi menteri. Politisi jadi anggota perlemen. Aku sendiri, yang Wedana ini akan bekerja di kantor. Tak tahu aku apa tugasku. Aku kehilangan banyak." katanyasetelah lama kami sama-sama terdiam.
Bagaimanapun besarnya pengorbanan kita sudah jadi bangsa yang merdeka. Dengan kemerdekaan itu bangsa ini akan membangun diri agar bisa menikmati hidup yanglebih baik, adil dan sejahtera. Itu pikiranku, yang aku serap dari pidato para pemimpin. Tapi Maruhum berpendapat lain. Dia merasa kehilangan. Kehilangan apa,yang padahal pangkatnya sudah setinggi itu? Wedana.
Menurutku, dia termasuk yang beruntung karena adanya perang ini. Dia tidak sepatutnya bersikap skeptis. Karena cobalah pikirkan, jika Belanda itu kembali ke sini tidak membawa bedil dan meriam, melainkan membawa salam dan senyuman,semua pangkat dan jabatan tinggi itu tidak akan sebanyak ini bertebaran. Paling-paling Maruhum hanya akan jadi klerk sebagaimana yang diceritakannya kepadaku.
Demikian Mayor Segeh. Demikian pula Letnan Tondeh. Namun Maruhum merasakehilangan pada akhir perang kemerdekaan ini. Kenapa?
"Aku kehilangan gara-gara gundar sepatu." katanya pula setelah lama kami sama-sama terdiam.
"Hah?" sergahku karena tidak tahu apa hubungannya.
"Kepada Si One, perempuan pedagang yang keluar masuk kota itu aku titip surat untuk istriku. Minta dikirimi gundar sepatu. Kata istriku dalam surat balasannya:
"Gundar sepatu kamu sudah tiada. Untuk pengganti aku kirim yang lain." Bung tahuapa yang dia kirim?"
Tanpa menunggu jawabanku Maruhum berkata dengan suara yang parau: "Pasti diapunya gendak. Lalu dikiriminya aku gundar kamar mandi usang dari ijuk yang kasar".
Ketika aku ketemu Si One, perempuan yang pedagang keluar masuk kota itu, aku tanyai dia. Sebagaimana orang desa yang biasanya polos, dia ceritakan fungsi gundar sepatu di daerah gerilya pada istri Maruhum. Dan perempuan itu, katanya, marah sekali sampai bercarut-carut.
Dalam hatiku, perempuan mana yang tidak sakit hati, bila diduai. Apalagi dengan gundar sepatu.
Kayutanam, 17 Juni 1997
post by maestro-sastra.blogspot.com

Dilarang Menyanyi Di Kamar Mandi

Cerpen Karya Seno Gumira Ajidarma

                                                                             
“Sabar Pak, sebentar lagi,” kata hansip.
”Waktunya selalu tepat pak, tak pernah meleset, ” sambung warga yang lain.
Pak RT manggut-manggut dengan bijak. Ia melihat arloji.
”Masih satu menit lagi,” ujarnya.
Satu menit segera lewat. Terdengar derit pintu kamar mandi. Serentak orang-orang yang mengiringi Pak RT mengarahkan telinganya ke lobang angin, seperti mengarahkan antena parabola ke Amerika seraya mengacungkan telunjuk di depan mulut.
”Ssssstttt!”
Pak RT melihat wajah-wajah yang bergairah, bagaikan siap dan tak sabar lagi mengikuti permainan yang seolah-olah paling mengasyikkan di dunia.
Lantas segalanya jadi begitu hening. Bunyi pintu yang ditutup terdengar jelas. Begitu pula bunyi resluiting itu, bunyi gesekan kain-kain busana itu, dendang-dendang kecil itu, yang jelas suara wanita. Lantas byar-byur-byar-byur. Wanita itu rupa-ruapnya mandi dengan dahsyat sekali. Bunyi gayung menghajar bak mandi terdengar mantab dan penuh semangat. Namun yang dinanti-natikan Pak RT bukan itu. Bukan pula bunyi gesekan sabun ke tubuh yang basah, yang sangat terbuka untuk ditafsirkan sebebas-bebasnya.
Yang ditunggu Pak RT adalah suara wanita itu. Dan memang dendang kecil itu segera menjadi nyanyian yang mungkin tidak teralu merdu tapi ternyata merangsang khayalan menggairahkan. Suara wanita itu serak-serk basah, entah apa pula yang dibayangkan orang-orang dibalik tembok dengan suara yang serak-serak basah itu. Wajah mereka seperti orang lupa dengan keadaan sekelilingnya. Agaknya nyanyian wanita itu telah menciptakan sebuah dunia di kepala mereka dan mereka sungguh-sungguh senang berada disana.
Hanya hansip yang masih sadar.
”Benar kan Pak?”
Pak RT tertegun. Suara wanita itu sangat merangsang dan menimbulkan daya khayal yang meyakinkan seperti kenyataan.
Pak RT memejamkan mata. Memang segera tergambar suatu keadaan yang mendebarkan. Bunyi air mengguyur badan jelas hanya mengarah tubuh yang telanjang. Bunyi sabu menggosok kulit boleh ditafsirkan untuk suatu bentuk tubuh yang sempurna. Dan akhirnya ya suara serak-serak basah itu, segera saja membayangkan suatu bentuk bibir, suatu gerakan mulut, leher yang jenjang, dan tenggorokan yang panjang—astaga, pikir Pak RT, alangkah sensualnya, alangkah erotisnya, alangkah sexy!
Ketika Pak RT membuka mata, keningnya sudah berkeringat. Dengan terkejut dilihatnya warga masyarakat yang tenggelam dalam ekstase itu mengalami orgasme.
”Aaaaaaahhhhh!”
Dalam perjalanan pulang, hansip memberondongnya dengan pertanyaan.
”Betul kan pak, suaranya sexy sekali ?”
”ya.”
’Betul kan Pak, suaranya menimbulkan imajinasi yang tidak-tidak?”
”Ya.”
”Betul kan Pak nyanyian di kamar mandi itu meresahkan masyarakat?”
”Boleh jadi.”
”Lho, ini sudah bukan boleh jadi lagi Pak, sudah terjadi! Apa kejadian kemarin belum cukup?”
***
Kemarin sore, ibu-ibu warga sepanjang gang itu memang memenuhi rumahnya. Mereka mengadu kepada Pak RT, bahwa semenjak terdengar Nyanyian dari kamar mandi rumah Ibu Saleha pada jam-jam tertentu, kebahagiaan rumah tangga warga sepenjang gang itu terganggu.
”Kok Bisa?” Pak RT bertanya.
”Aduh, Pak RT belum dengar sendiri sih! Suaranya sexy sekali!”
”Saya bilang Sexy sekali, bukan hanya sexy. Kalau mendengar suaranya, orang langsung membayangkan adegan-adegan erotis Pak!”
”Sampai begitu?”
”Ya, sampai begitu! Bapak kan tahu sendiri, suaranya yang serak-serak basah itu disebabkan karena apa!”
”Karena apa? Saya tidak tahu.”
”Karena sering di pakai dong!”
”Dipakai makan maksudnya?”
”Pak RT ini bagaimana sih? Makanya jangan terlalu sibuk mengurusi kampung. Sesekali nonton BF kek, untuk selingan supaya tahu dunia luar.”
”Saya, Ketua RT, harus nonton BF, apa hubungannya?”
”Supaya Pak RT tahu, kenapa suara yang serak-serak basah itu sangat berbahaya untuk stabilitas spanjang Gang ini. Apa Pak RT tidak tahu apa yang dimaksud dengan adegan-adegan erotis? Apa Pak RT tidak tahu dampaknya bagi keidupan keluarga? Apa Pak RT selama ini buta kalau hampir semua suami di gang ini menjadi dingin di tempat tidur? Masak gara-gara nyanyian seorang wanita yang indekost di tempat ibu Saleha, kehidupan seksual warga masyarakat harus terganggu? Sampai kapan semua ini berlangsung? Kami ibu-ibu sepanjang gang ini sudah sepakat, dia harus diusir!”
”lho, lho, lho, sabar dulu. Semuanya harus dibicarakan baik-baik. Dengan musyawarah, dengan Mufakat, jangan main hakim sendiri. Dia kan tidak membuat kesalahan apa-apa? Dia hanya menyanyi di kamar mandi. Yang salah adalh imajinasi suami ibu-ibu sendiri, kenapa harus membayangkan adegan-adegan erotis? Banyak penyanyi Jazz suaranya serak-serak basah, tidak menimbulkan masalah. Padahal lagu-lagunya tersebar ke seluruh dunia.”
”Ooo itu lain sekali pak. Mereka tidak menyanyikannya di kamar mandi dengan iringan bunyi jebar-jebur. Tidak ada bunyi resluiting, tidak ada bunyi sabun menggosok kulit, tidak ada bunyi karet celana dalam. Nyanyian dikamar mandi yang ini berbahaya, karena ada unsur telanjangnya Pak! Porno! Pokoknya kalau Pak RT tidak mengambil tindakan, kami sendiri yang akan beramai-ramai melabraknya!”
Pak RT yang diserang dari segala penjuru mulai kewalahan. Ia telah menjelaskan bahwa wanita itu hanya menyanyi di kamar mandi, dan itu tidak bisa di sebut kesalahan, apalagi melanggar hukum. Namun ia tak bisa menghindari kenyataan bahwa ibu-ibu disepanang gang itu resah karena suami mereka menjadi dingin di tempat tidur. Ia tidak habis pikir, bagaimana suara yang serak-serak basah bisa membuat orang berkhayal begitu rupa, sehingga mempengaruhi kehidupan sexual sepasang suami istri. Apakah yang terjadi dengan kenyataan sehingga seseorang bisa bercinta dengan imajinasi? Yang juga membuatnya bingung, kenapa para suami ini bisa mempunyai imajinasi yang sama?
”Pasti ada yang salah dengan sistem imajinasi kita,” pikirnya.
Sekarang setelah mendengar sendiri suara yang serak-serak basah itu, Pak RT mesti mengakui suara itu memang bisa dianggap sexy dengan gambaran umum mengenai suara yang sexy. Meski begitu pak RT juga tahu bahwa seseorang tidak harus membayangkan pergumulan di ranjang mendengar nyanyian dari kamar mandi itu, walaupun ditambah dengan bunyi byar-byur-byar-byur, serta klst-klst-klst bunyi sabun menggosok kulit.
Karenanya, Pak RT berkeputusan tidak akan mengusir wanita itu, melainkan mengimbaunya agar jangan menyanyi di kamar mandi, demi kepentingan orang banyak.
Di temani Ibu Saleha yang juga sudah tau duduk perkaranya, Pak RT menghadapi wanita itu. Seorang wanita muda yang tidak begitu cantik juga tidak tergolong jelek. Seorang wanita muda yang hidup dengan sangat teratur. Pergi kantor dan pulang ke rumah pada waktu yang tepat. Bangun tidur pada jam yang telah di tentukan. Makan dan membaca buku pada saat yang selalu sama. Begitu pula ketika ia harus mandi, sambil menyanyi dengan suara serak-serak basah.
”Jadi suara saya terdengar sepanjang gang di belakang rumah? ”
”Betul, Zus”
”Dan ibu-ibu meminta saya agar tidak menyanyi supaya suami mereka tidak berpikir yang bukan-bukan?”
”ya, kira-kira begitu Zus.”
”Jadi selama ini ternyata para suami di sepanjang gang dibelakang rumah membayangkan tubuh saya telanjang ketika mandi, dan membayangkan bagaimana seandainya saya bergumul dengan mereka di ranjang, begitu?”
Pak RT sudah begitu malu. Saling memandang dengan Ibu Saleha yang wajahnya pun sama-sama sudah merah padam. Wanita yang parasnya polos itu membasahi bibinya dengan lidah. Mulutnya yang lebar bagaikan mengandung tenaga yang begitu dahsyat untuk memamah apa saja di depannya.
Pak RT melirik wanita itu dan terkesiap melihat wajah itu tersenyum penuh rasa maklum. Ia tidak menunggu jawaban Pak RT.
”Baiklah Pak RT, Saya usahakan untuk tidak menyanyi di kamar mandi,” Ujarnya dengan suara yang serak-serak basah itu, ”akan saya usahakan agar mulut saya tidak mengeluarkan suara sedikit pun, supaya para suami tidak membayangkan diri mereka bergumul dengan saya,  sehingga mengganggu kehidupan seksual keluarga sepanjang gang ini”.
”Aduh, terimakasih banyak Zus. Harap maklum Zus, saya Cuma tidak ingin masayrakat menjadi resah.”
Begitulah semenjak itu, tak terdengar lagi nyanyian bersuara serak-serak basah dari kamar mandi diujung gang itu. Pak RT merasa lega. ”semuanya akan berjalan lancar,” pikirnya. Kadang-kadang ia berpapasan dengan wanita yang penuh pengertian itu. Masih terbayang di benak Pak RT betapa lidah wanita itu bergerak-gerak membasahi bibirnya yang sungguh-sungguh merah.
***
Tapi Pak RT rupanya masih harus bekerja keras. Pada suatu sore hansip melapor.
”Kaum ibi sepanjang gang ternyata masih resah pak.”
”Ada apa lagi? Wanita itu sudah tidak menyanyi lagi kan?”
”Betul Pak, tpi menurut laporan ibu-ibu pada saya, setiap kali mendengar bunyi jebar-jebur dari kamar mandi itu, para suami membayangkan suaranya yang serak-serak basah. Dan karena membayangkan suaranya yang serak-serak basah yang sexy, lagi-lagi meraka membayangkan pergumulan di ranjang dengan wanita itu Pak. Akibatnya, kehidupan seksual warga kampung sepanjang gang ini masih belum harmonis. Para ibu mengeluh suami-suami mereka masih dingin ditempat tidur, pak!”
”Jangan-jangan khayalan para ibu tentang isi kepala suami mereka sendiri juga berlebihan! Kamu sendiri bagaimana? Apa kamu juga membayangkan yang tidak-tidak meski hanya mendengar jebar-jebur orang mandi saja?”
Hansip itu tersenyum malu.
”Saya belum kawin, pak.”
”Aku tahu, maksudku kamu membayangkan adegan-adegan erotis atau tidak kalu mendengar dia mandi?”
”Ehm! Ehm!”
”Apa itu Ehm-Ehm?”
”Iya, Pak”
”Nah, begitu dong terus terang. Jadi ibu-ibu maunya apa?”
”Mereka ingin minta wanita itu diusir Pak.”
Terbayang di mata Pak RT wajah ibu-ibu sepanjang gang itu. Wajah wanita-wanita yang sepanjang hari memakai daster, sibuk bergunjing, dan selalu ada gulungan keriting rambut dikepalanya. Wanita-wanita yang selalu menggendong anak dan kalu teriak-teriak tidak kira-kira kerasnya, seperti di sawah saja. Wanita-wanita yang tidak tahu cara hidup selain mencuci baju dan berharap-harap suatu hari bisa membeli mebel yang besar-besar untuk ruang tamu mereka yang sempit.
”Tidak mungkin, wanita itu tidak bersalah. Bahkan melarangnya nyanyi saja sudah keterlaluan.”
”Tapi imajinasi porno itu tidak bisa dibendung Pak.”
“Bukan salah wanita itu dong! Salahnya sendiri kenapa mesti membayangkan yang tidak-tidak? Apa tidak ada pekerjaan lain?”
“Salah atau tidak, menurut ibu-ibu adalah wanita itu penyebabnya Pak. Ibu-ibu tidak mau tahu. Mereka menganggab bunyi jebar-jebur itu masih mengingatkan bahwa itu selalu diiringi nyanyian bersuara serak-serak basah yang sexy, sehingga para suami masih membayangkan suatu pergumulan di ranjang yang seru.”
Pak RT memijit-mijit keningnya.
”Terlalu,” batinnya, ”pikiran sendiri kemana-mana, orang lain disalahkan.”
Pengalamannya yang panjang sebagai ketua RT membuatnya hafal, segala sesuatu bisa disebut kebenaran hanya jika dianut orang banyak. Sudah berapa maling digebuk sampai mati dikampung itu dan tak ada seorangpun yang dituntut ke pengadilan, karena dianggap memang sudah seharusnya.
”Begitulah Zus, ” Pak RT sudah berada dihadapan wanita itu lagi. ”Saya harap Zus berbesar hati menghadapi semua ini. Maklumlah orang kampung Zus, kalau sedang emosi semaunya sendiri. ”
Wanita itu lagi-lagi tersenyum penuh pengertian. Lagi-lagi ia menjilati bibirnya sendiri sebelum bicara.
“Sudahlah Pak, jangan dipikir, saya mau pindah ke kondominium saja, supaya tidak mengganggu orang lain.”
Maka hilanglah bunyi jebar-jebur pada jam yang sudah bisa di pastika itu. Ibu-ibu yang sepanjang hari cuma mengenakan daster merasa puas, duri dalam daging telah pergi. Selama ini alangkah tersiksanya mereka, karena ulah suami mereka yang menjadi dingin di tempat tidur, gara-gara membayangkan adegan ranjang seru dengan wanita bersuara serak-serak basah itu.
***
Pada suatu sore, disebuah teras, sepasang suami istri bercakap-cakap.
”Biasanya jam segini dia mandi,” kata suaminya.
”Sudah. Jangan diingat-ingat” sahut istrinya cepat-cepat.
”Biasanya dia mandi dengan bunyi jebar-jebur dan menyanyi dengan suara serak-serak basah.”
”Sudahlah. Kok malah diingat-ingat sih?”
”Kalau dia menyanyi suaranya sexy sekali. Mulut wanita itu hebat sekali, bibirnya merah dan basah. Setiap kali mendengar bunyi sabun menggosok kulit aku tidak bisa tidak membayangkan tubuh yang begitu penuh dan berisi. Seandainya tubuh itu ku peluk dan kubanting ke tempat tidur. Seandainya ..”
Belum habis kalimat suami itu, ketika istrinya berteriak keras sekali, sehingga terdengar sepanjang gang.
”Tolongngngngng! Suami saya berkhayal lagi! Tolongngngngng!”
Ternyata teriakan itu bersambut. Dari setiap teras rumah, terdengar teriakan para ibu melolong-lolong.
”Tolongngngngng! Suami saya membayangkan adgan ranjang lagi dengan wanita itu! Tolongngngngng!”
Suasana jadi geger. Hansip berlari kian kemari menenangkan ibu-ibu. Rupa-rupanya tanpa suara nyanyian dan bunyi byar-byur-byar-byur orang mandi, para suami tetap bisa membayangkan adgan ranjang dengan wanita bersuara serak-serak basah yang sexy itu. Sehingga bisa dipastikan kebahagiaan rumah tangga warga sepanjang gang itu akan terganggu.
Pak RT pusing tujuh keliling. Bagaimana caranya menertibkan imajinasi? Tapi sebagai ketua RT yang berpengalaman, iasegera mengambil tindakan. Dalam rapat besar esok harinya ia memutuskan, agar di kampung itu didirikan fitness centre. Pak RT memutusakan bahwa di fitness centre itu akan diajarkan Senam Kebahagiaan Rumah Tangga yang wajib diikuti ibu-ibu, supaya bisa membahagiakan suaminya di tempat tidur. Pak RT juga sudah berpikir-pikir, pembukaan fitness center itu kelak, kalau bisa dihadiri Jane Fonda.
Kemudian, disepanjang gang itu juga berlaku peraturan baru:
DILARANG MENYANYI DI KAMAR MANDI
                                              
Taman Manggu, 29 Desember 1990
 post by : maestro-sastra.blogspot.com                                            
                           
*) “Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi” (1991), harian Suara Pembaruan, 1991, sebagai Kamar Mandi. Dimuat kembali dalam Lembaran Mastera, sisipan Horison, Dewan Sastera (Malaysia) dan Bahana (Brunei Darussalam) untuk Majelis Sastra Asia Tenggara, dokumentasi dari horison No. 2/Januari, 2000

Rabu, 11 Januari 2012

Sastra Sebagai Pola Berpikir

Membaca karya sastra berbeda dengan membaca karya-karya non-fiksi. Perbedaan terletak pada konsep penulisan dan letak 'inti' tulisan. Dengan memahami perbedaan-perbedaan tersebut setiap pembaca akan dapat memposisikan bacaan mereka pada tempat yang seharusnya. Dengan pemahaman tersebut, karya fiksi (cerpen,novel, puisi, naskah drama dll) ditempatkan sebagai bacaan yang tidak terlalu membutuhkan penilaian dan judgement (pembenaran/penyalahan) secara langsung. Sedangkan, karya-karya non-fiksi dapat dilakukan penilaian dan judgement secara langsung dan menggunakan logika-logika rasional umum.

Karya fiksi menekan pada naik-turunnya emosi dan tensi. Karya fiksi yang memiliki fluktuasi pengisahan yang nai-turun secara konstan memiliki nilai yang semakin baik. Nilai karya sastra juga terletak pada visualisasi emosi, setting atau suasana yang efektif. Efektifitasnya tidak harus rasional dan nyata seperti karya non-fiksi. Untuk memperkaya suasana dan bentuk emosi yang ingin dibangun penulis, kadang kata-kata yang tidak langsung, sarkatis, sinisme, ironi dan sindirian dipakai.

SELAMAT MENIKMATI SASTRA...

Jumat, 06 Januari 2012

Lelehan Salju

Oleh: Marie Luise Kaschnitz

Tempat tinggal itu terkenal di tingkat dua sebuah apartemen yang besar dan bagus. Juga ruangan-ruangan di da­lam tempat tinggal itu bagus, memiliki ventilasi cukup dan tampak nyaman. Dinding-dindingnya dilapisi kertas dinding berwarna biru dengan percikan warna putih di sana-sini. Di dalam tempat tinggal itu terdapat lemari kayu jati yang kokoh dan terpelitur rapi, juga seperangkat kursi tamu yang empuk, nyaman, berwarna merah tomat. Dapurnya, walaupun masih bermodel kuno, tetapi dinding-dindingnya tercat putih bersih seperti salju dan nampak nya­man dengan kursi-kursi dan meja makannya yang besar.

Di luar cuaca berembun, salju mulai meleleh, jatuh bergumpal-gumpal dari atap rumah lalu teronggok di muka jendela. Wanita itu tengah berada di dapur ketika suaminya pulang dari tempat bekerja. Hari sudah mulai gelap dan jam dinding menunjukkan hampir pukul 6 sore. Ia mendengar bagaimana suaminya membuka pintu dengan kuncinya sendiri dan menguncinya kembali dari dalam.

Suami wanita itu lalu pergi ke kamar mandi, baru kemudian masuk ke ruangan dalam, menutup pintu yang berada di belakang punggung istrinya dan menyapanya. Barulah wanita itu melepaskan sarung tangan plastiknya yang penuh dengan busa sabun dan mengibarkan air dari jari-jari tangannya serta mengangguk membalas salam suaminya.

“Sudah kau kunci pintunya?” tanya wanita itu pada suaminya untuk meyakinkan dirinya.

“Sudah,” jawab suaminya.

“Dua kali?” tanya wanita itu lagi.

“Ya,” jawab suaminya pula.

Wanita itu kemudian pergi ke jendela dan menutup kerainya.

“Jangan menyalakan lampu dulu!” serunya pada suami­nya. “Ada lubang di kerai jendela, alangkah baiknya jika kau tutup dulu dengan selembar seng tipis di atasnya,” tambahnya lagi.

“Kau begitu penakut,” ujar suami wanita itu, namun tak urung juga ia segera mengambil perkakas pertukangan dan selembar seng tipis. Di salah satu sisi seng tipis itu ada gambar orang negro dengan syal merah di lehernya dan gigi-giginya terlihat putih berkilauan. Ia memakukan seng itu sedemikian rupa, sehingga orang bisa melihat si negro itu dari dalam rumah.

Suami wanita itu mengerjakan semua itu hanya dengan bantuan sedikit cahaya yang menerobos masuk ke dapur dari koridor rumah. Belum juga ia menuntaskan pekerjaannya, istrinya sudah pergi ke luar mematikan lampu luar dan menutup pintu. Kemudian tiba-tiba ruangan yang gelap gulita itu menjadi terang benderangg oleh cahaya lampu neon. Suami wanita itu mencuci tangannya di bawah keran dan kemudian duduk di depan meja makan.

“Sekarang, aku ingin makan,” ujarnya.

“Ya,” kata istrinya, yang lalu segera mengambil dari dalam lemari berisi Wurst, Schinken dan botol lada serta sepiring kentang berselada. Di atas meja makan sudah tersedia roti di dalam keranjang yang dihiasi dengan indahnya dan ditaruh di atas kain penutup terbuat dari linen bergambar kapal-kapal kecil yang lucu.

“Apakah kau punya koran hari ini?” tanya wanita itu pada suaminya.

“Ya,” jawab sang suami yang lalu beranjak ke luar dapur dan segera masuk ke dapur kembali. Diletakkannya koran yang dibawanya di atas meja makan.

“Pintu harus segera kau tutup kembali,” tegur wanita itu.

“Kalau tidak cahaya lampu di rumah kita terlihat dari luar dan orang segera tahu bahwa kita sedang berada di rumah.” tambahnya lagi.

“Ada berita apa di koran hari ini?” tanya wanita itu pada suaminya.

“Tentang kembalinya para astronot dari bulan,” jawab suaminya setelah menutup pintu, kemudian duduk kem­bali dan mulai memakan kentang dan Wurst-nya. “Juga sedikit berita tentang Cina dan Aljazair,” tambahnya.

“Aku tak ingin tahu tentang hal itu,” ujar wanita itu. “Yang ingin kuketahui, apakah polisi telah berbuat sesuatu?”

“Ya,” jawab suaminya. “Mereka membuat sebuah daftar nama.”

“Sebuah daftar nama?” seru wanita itu panik. “Apakah kau melihat ada polisi di jalan raya depan rumah kita?” tanyanya.

“Tidak,'' jawab suaminya.

“Juga tidak di sudut jalan?” tanya wanita itu lagi.

“Tidak,” kata suaminya lagi.

Wanita itu kemudian duduk pula di depan meja dan mulai makan, tetapi sangat sedikit. Tiap saat ia memasang telinganya dengan sangat tegang pada setiap bunyi atau suara yang terdengar dari jalan raya.

“Aku tak dapat memahami sikapmu,” ujar suaminya.

“Aku tak melihat dan tak tahu siapa yang akan melakukan sesuatu pada kita dan apa yang akan dilakukannya serta mengapa?” cetusnya lagi.

“Aku tahu orangnya,” jawab wanita itu.

“Selain dia, aku tak tahu siapa lagi orangnya. Dan dia kini sudah mati,” ujar suaminya.

“Aku benar-benar yakin,” ujar wanita itu yang lalu berdiri, membereskan piring-piring dan segera mulai mencucinya. Ia berusaha keras untuk sedapat mungkin tidak menimbulkan suara. Suami wanita itu menyalakan rokok dan mulai membaca halaman pertama koran hari itu. Orang dapat melihat bahwa ia tidak sungguh-sungguh sedang membaca.

“Kita, toh, hanya melakukan kebaikan padanya,” cetus suami wanita itu.

“Itu tidak ada artinya,” ujar istrinya seraya melepas sarung tangannya, memerasnya dan menggantungkannya pada papan berkait yang berwarna biru cantik yang terletak di atas alat pemanas.

“Tahukah kau, bagaimana mereka akan berbuat,” tanya wanita itu.

“Tidak!” jawab suaminya. “Aku juga tak ingin mengetahuinya. Aku ingin mendengarkan siaran berita.”

Walaupun suaminya sudah memutuskan pembicaraan mengenai hal itu, tetapi wanita itu masih saja meneruskan.

“Mereka akan membunyikan bel,” ujar wanita itu. “Te­tapi hanya jika mereka tahu ada orang di rumah. Bila pintu tak juga dibuka, maka mereka akan memecahkan pintu kaca, masuk ke dalam ruangan dengan revolver di tangan,” tambahnya lagi.

“Sudahlah,” putus suaminya. “Hellmuth sudah mati.”

Wanita itu mengambil serbet yang tergantung pada papan berkait di dinding dan mengeringkan kedua ta­ngannya.

“Aku harus menceritakan sesuatu padamu,” ujar wa­nita itu.

“Sebelumnya aku tak ingin menceritakannya, tetapi sekarang harus kuceritakan. Waktu itu, ketika aku dijemput oleh polisi ...”

Suami wanita itu meletakkan korannya di atas meja dan menatap istrinya dengan terkejut. “Ya?” tanyanya sangsi.

“Mereka membawaku ke kamar mayat,” ujar wanita itu. “Polisi itu lalu segera menutup mayat seseorang, te­tapi kemudian perlahan-lahan membukanya dari kakinya.”

“Polisi itu menanyakan apakah sepatu si mayat itu sepatu anakku atau bukan. Aku lalu mengiyakannya,” wa­nita itu bercerita pada suaminya.

“Polisi itu lalu juga menanyakan apakah celana dan baju si mayat itu celana dan baju milik anakku atau bukan. Aku pun mengiyakannya pula,” cerita wanita itu lagi.

“Ya, aku ingat,” ujar suaminya.

“Terakhir polisi itu juga menanyakan apakah wajah si mayat itu wajah anakku atau bukan. Ia membuka kain penutup mukanya, tetapi hanya sekejap karena wajah ma­yat itu telah begitu rusak dan ia takut kalau aku akan tak sadarkan diri atau menjerit keras,”' cerita wanita itu pula.

“Waktu itu, aku juga mengiyakan bahwa itu memang wajahnya.”

“Ya aku ingat,” ujar suaminya pula.

Wanita itu menghampiri meja, duduk berhadap-hadapan dengan suaminya seraya meletakkan kepalanya di atas tangannya.

“Aku sebenarnya tidak mengenali wajah mayat itu,” ujar wanita itu mengaku.

“Tetapi tentunya, wajah mayat itu memang wajah­nya,” suaminya mencoba meyakinkannya.

“Tetapi rasanya bukan dia,” ujar wanita itu lagi. “Aku segera pulang ke rumah waktu itu dan mengatakan padamu bahwa aku telah melihat mayatnya, dan kau waktu itu tampak senang.”

“Ya, kita berdua senang,” kenang suaminya.

“Karena dia bukan anak kandung kita,” sambung wa­nita itu.

“Karena ia kembali tak ada, seperti sediakala,” lanjut suaminya pula, yang lalu memandang wajah istrinya lekat-lekat. Sebuah raut muka yang bundar dan tetap tampak muda dikelilingi anak-anak rambut, tetapi yang dapat pula tiba-tiba berubah menjadi wajah seorang wanita yang sangat tua.

“Kau kelihatan begitu lelah,” cetus suami wanita itu.

“Kau begitu tegang dan cemas. Seharusnya kita tidur sekarang,”

“Tak ada gunanya,” ujar istrinya. “Sudah lama kita tak dapat tidur. Kita hanya berbaring saja dan sedikit memicingkan mata. Kemudian terbitlah fajar, dan mata kita pun segera terbuka lagi,” tambahnya pula.

“Agaknya orang tak boleh memungut anak seorang pun. Kita telah melakukan kesalahan waktu itu, tetapi kini semuanya sudah beres,” kata suami wanita itu.

“Aku tidak mengenali mayat itu,” keluh wanita itu mengulangi kesangsiannya.

“Tetapi bisa saja, ia telah benar-benar mati atau pergi jauh ke luar negeri, ke Amerika atau Australia,” ujar suami­nya menenangkan.

Saat itu segumpal salju jatuh kembali dari atap rumah ke atas jalan raya dan menimbulkan suara lunak.

“Masih ingatkah kau pada suatu musim dingin yang begitu bersalju,” tanya wanita itu.

“Ya,” jawab suaminya. “Waktu itu Hellmuth baru ber-usia 7 tahun. Kita membelikan sebuah sepatu luncur. Ia juga masih mendapat banyak hadiah lainnya.”

“Tetapi, bukan yang diinginkannya,” ujar wanita itu.

“Ia mengaduk-aduk seluruh hadiah yang didapatnya. Mencari dan terus mencari. Akhirnya ia menjadi tenang dan bermain dengan balok-balok kayu. Ia membangun rumah-rumahan yang tidak memiliki jendela dan pintu serta dikelilingi oleh tembok yang tinggi.”

“Pada tahun baru, ia membunuh seekor kelinci,” ke­nang wanita itu lagi.

“lebih baik kita bicarakan hal yang lain saja.” putus suaminya. “Berikan padaku gitar itu, aku hendak memperbaiki senarnya.

“Terlalu berisik nanti,” kata wanita itu. “Tahukah kau, bagaimana mereka menyebut diri mereka sendiri?” lanjut wanita itu lagi, tak ingin rnengalihkan pembicaraan.

“Tidak,” jawab suaminya. “Aku tak mengetahuinya. Aku ingin tidur atau melakukan yang lainnya.” cetus suami­nya pula.

“Mereka menyebut diri mereka hakim-hakim,” lanjut wanita itu menjawab sendiri pertanyaannya. Ia segera memasangkan mata dan telinganya tajam-tajam, ketika seseorang terdengar menaiki tangga ke tingkat yang paling tinggi.

“Kau membuatku gila,” cetus suaminya.

“Ketika ia berumur 9 tahun, ia memukulku untuk pertama kalinya. Ingatkah kau?” tanya wanita itu pada suami­nya.

“Ya, aku masih ingat,” sahut suaminya. “Ia diusir dari sekolahnya dan kau memarahinya. Pada saat itulah kita memasukkannya ke lembaga pendidikan anak nakal”

“Pada saat liburan, ia pulang ke rumah,” kenang wa­nita itu.

“Ya, pada saat liburan ia bersama kita,” ulang suami­nya.

“Suatu waktu pada hari Minggu aku pergi dengannya ke telaga di tengah hutan. Kami melihat ikan-ikan di sana.

Pada perjalanan pulang, ia menggenggamkan tangannya ke tanganku.”

“Keesokan harinya,” lanjut wanita itu. “Ia memukul anak walikota tepat di matanya.”

“Ia tak tahu bahwa yang dipukulnya itu anak walikota” ujar suaminya.

“Saat itu ia sungguh tak menyenangkan,” kenang wa­nita itu.

“Kau nyaris kehilangan pekerjaanmu waktu itu.”

“Kita begitu senang waktu itu jika saat liburan telah usai,” lanjut suaminya seraya berdiri mengambil sebotol minuman dari dalam lemari es dan menuangkannya ke dalam gelas di atas meja, “mau minum jugakah kau?” tanyanya pada istrinya.

“Tidak, aku tidak ingin minum,” jawab wanita itu. “Ia tak mencintai kita,” tambahnya lagi.

“Ia tak pernah mencintai siapa pun,” sahut suami wa­nita itu. “Namun, paling tidak ia pemah mencari perlindungan pada kita.”

“Saat itu ia dikirim kembali dari lembaga pendidikan itu, karena masa pendidikannya di situ telah selesai,” kata wanita itu terus mengenangkan masa lalu. “Ia tak tahu harus pergi ke mana.”

“Direktur lembaga itu menelponku,” ujar suami wanita itu pula. “Ia seorang yang ramah dan lucu. Ia berpesan padaku agar menerima kehadiran Helmuth kembali, jika ia pulang ke rumah kita, karena ia tidak mempunyai uang sedikit pun dan tak dapat membeli makanan. Jika seekor burung lapar, tentu ia akan kembali ke sarangnya,” demikian pesan Pak Direktur itu padaku.”

“Benar ia mengatakan hal itu?” tanya wanita itu.

“Ya,” jawab suaminya. “Pak Direktur itu juga ingin tahu apakah di kota ini Hellmuth mempunyai kawan atau tidak.”

“Ia tak punya kawan seorang pun,” ujar wanita itu.

“Saat itu salju mulai meleleh,” kenang suaminya. “Salju jatuh bergumpal-gumpal dari atap rumah ke dalam balkon,” tambahnya lagi.

“Persis seperti hari ini,” ujar wanita itu.

“Segalanya persis seperti hari ini,” ulang wanita itu. “Jendela ditutup rapat, berbicara pelan-pelan seolah-olah tak seorang pun sedang berada di rumah. Anak itu menaiki tangga, menekan bel dan mengetuk pintu.”

“Hellmuth bukan seorang anak-anak lagi,” kenang suaminya. “Ia sudah berumur 15 tahun waktu itu, dan kita harus melakukan apa yang dipesankan Pak Direktur.”

“Kita takut waktu itu,” ujar wanita itu.

Suami wanita itu menuang ke dalam gelas minumannya yang kedua. Suara dari jalan raya hampir tak terdengar lagi. Orang dapat mendengar suara dari kejauhan, dari pegunungan.

“Ia berdiam diri sejenak,” ujar wanita itu. “Ia sudah berumur 15 tahun waktu itu, tapi ia menangis di atas tangga.”

“Semuanya kini telah berlalu,” ujar suaminya dan memainkan ujung jari tangannya membentuk lingkaran di atas penutup meja bergambar kapal kecil.

“Di kantor polisi waktu itu ada seorang wanita yang menangis meronta-ronta. Anaknya mati tertabrak,” ujar wanita itu.

“Bau darah,” ujar suaminya setengah bercanda dan memperlihatkan wajah seorang yang menderita.

“Ia, toh, pernah juga sekali waktu mempunyai seorang sahabat,” kenang wanita itu meralat pernyataannya sebelumnya. “Sahabatnya itu seorang anak laki-laki yang kecil dan lemah. Anak itulah yang diikat oleh teman-temannya di halaman sekolah. Rumput di bawah kakinya dibakar dan rumput itu pun turut membakar kaki anak itu.”

“Nah, kamu lihat lagi, kan,” ujar suaminya.

“Tidak,” bantah wanita itu. “Hellmuth tidak turut melakukannya dan dia juga tidak senang berada di situ. Anak malang itu akhirnya dapat melepaskan dirinya, tetapi ia kemudian meninggal. Semua teman-temannya datang ke pemakamannya dan menabur bunga.”

“Juga Hellmuth?'“ tanya suaminya.

“Hellmuth tidak,” jawab wanita itu.

“Ia tidak berhati.” ujar suami wanita itu dan mulai memain-mainkan gelas minumnya.

“Barangkali tidak demikian,” sanggah wanita itu.

“Di sini cahaya begitu terangnya,” ujar suaminya tiba-tiba seraya memandang ke lampu neon dan kemudian menutup matanya dengan tangannya.

“Di mana fotonya?” tanya suami wanita itu.

“Di dalam lemari,” jawab istrinya.

“Kapan kau menaruhnya?” tanya suaminya lagi

“Sudah lama.” jawab wanita itu.

“Tepatnya kapan?” kejar suaminya terus.

“Kemarin,” jawab wanita itu.

“Jadi kau melihatnya, kemarin?” tanya sang suami.

“Ya,” jawab wanita itu panik, “Ia berdiri di sudut jalan.”

“Sendiri?” tanya suaminya lagi.

“Tidak,” jawab wanita itu pula, “Ia bersama beberapa orang temannya yang tak kukenal. Mereka semuanya berdiri dengan kedua tangan di saku celana dan berdiam diri saja. Kemudian mereka mendengar suatu suara, yang juga kudengar. Suara pluit melengking panjang dan tiba-tiba mereka semua lenyap begitu saja seperti ditelan perut bumi.”

“Apakah mereka melihatmu?” tanya suami wanita itu,

“Tidak,” jawab istrinya. “Aku sedang turun dari trem listrik waktu itu dan ia tengah berputar membelakangiku.”

“Barangkali bukan dia,” ujar suami wanita itu lagi.

“Aku tak begitu yakin,” sahut istrinya.

Suami wanita itu berdiri, menggeliat, menguap dan beberapa kali menendang kaki kursi seraya berucap: “Itulah sebabnya mengapa orang tak boleh memungut anak. Orang tak tahu apa yang ada di dalam diri anak tersebut.”

“Tak akan pernah ada yang tahu, apa yang terdapat dalam diri orang lain,” sahut istrinya pula.

Wanita itu menarik sebuah laci meja, memasukkan tanganya dan meletakkan segulung benang hitam dan jarum jahit di atas meja.

“Buka jaketmu,” ujar wanita itu pada suaminya, “Kancingnyayang paling atas, lepas.”

Scmentara dia melepas jaketnya, laki-laki itu juga memperhatikan bagaimana istrinya berusaha memasukkan benang ke dalam jarum jahit. Dapur itu sangat terang dan jarum itu mempunyai lubang yang besar, tetapi kedua ta­ngan wanita itu gemetar sehingga ia tak kunjung berhasil memasukkan benang itu.

Suami wanita itu meletakkan jaketnya di atas meja dan istrinya masih terus duduk serta berusaha memasukkan benang itu ke dalam jarum, namun tak kunjung berhasil.

“Bacakan sesuatu untukku,” pinta wanita itu ketika ia mengetahui suaminya sedang mengamatinya terus.

“Dari koran?” tanya suaminya.

“Tidak,”' jawab wanita itu, “Dari buku.”

Suami wanita itu lalu pergi ke ruang tamu dan segera kembali dengan membawa buku. Sementara ia meletakkan buku itu di atas meja dan kemudian mencari kacamatanya di dalam tas, terdengar oleh mereka berdua suara kucing mengeong keras di muka jendela.

“Akhirnya datang juga si tukang keluyur itu,” ujar suami wanita itu seraya berdiri dan mencoba membuka kerai jendela, tetapi karena baru saja ditambal dengan selembar seng maka kerai itu tidak dapat dibuka.

“Kau harus melepaskan dulu seng itu,” cetus istrinya.

Suami wanita itu lalu mengambil tang dan mencabut kembali paku dari seng itu. Setelah itu ia membuka kerai jendela dan dalam sekejap meloncat si kucing yang lalu berkelebat berkeliling dapur seperti bayangan batu bara hitam.

“Harus aku memasang kembali seng ini?” tanyanya pada istrinya.

Wanita itu menggelengkan kepalanya. “Sekarang bacakanlah buku itu untukku,” pintanya lagi.

Suami wanita itu lalu mengambil seng tipis bergambar orang negro itu dan menyandarkannya dekat lemari es dan si negro itu nyengir padanya dari bawah. Ia kemudian duduk dan mengambil kacamata dari tempatnya.

“Miez,” panggilnya, dan kucing itu melompat ke pangkuannya serta mulai mendengkur. Ia mengelus-elus punggung kucing itu dengan tangannya dan tiba-tiba terlihat begitu gembira.

“Bacalah,” pinta istrinya lagi. “Dari depan?” tanya suami wanita itu. “Tidak.” jawab wanita itu. “Dari mana saja. Bukalah buku itu di tengah-tengah dan bacalah dari mana saja.” “Itu. kan, tak ada gunanya,” cetus suaminya. “Tentu saja ada gunanya,” bantah wanita itu, “Aku ingin tahu, apakah kita bersalah atau tidak,” tambahnya pula.

Suami wanita itu lalu memakai kacamatanya dan mem­buka buku itu langsung di tengah-tengah. Buku itu begitu saja diambilnya dalam kegelapan tanpa pilih lagi. Mereka tak memiliki banyak buku. Ia lalu mulai membaca de­ngan lambat dan berat.

“Akan tetapi aku sekarang memandangnya hampir dengan terkejut karena gerakannya yang begitu teratur dan kuat, rambutnya yang hitam keriting jatuh di keningnya, matanya yang besar bercahaya. Semuanya itu masih saja terlihat seperti gambar di depanku.”

Suami wanita itn masih membacakan beberapa kata, lalu meletakkan begitu saja buku itu di atas meja dan berkata: “Kita tak tahu apa-apa mengenai hal itu.”

“Tidak,” seru wanita itu dan memegang kembali jarum di tangan kirinya dan memasukkan benang ke dalam lubang jarum itu dengan tangan kanannya.

“Mengapa kau ingin tahu benar hal itu?” tanya suami­nya. “Setiap orang bersalah dan tidak bersalah. Memikirkan hal itu tak ada gunanya.”

“Jika memang kita bersalah,” ujar wanita itu. “Kita sekarang harus membuka kerai itu lebar-lebar, sehingga setiap orang dari kejauhan pun dapat melihat bahwa kita berada di rumah. Kita juga harus menyalakan lampu halaman dan membuka pintu depan, sehingga setiap orang dapat masuk.”

Suaminya menunjukkan sikap tak berani. Kucing di pangkuannya melompat meluncur ke sudut ruangan di samping keranjang sampah. Di sana sudah ada secangkir kecil susu untuknya. Wanita itu tak lagi mencoba mema­sukkan benang ke dalam jarum. Ia meletakkan kepala­nya di atas meja, di atas jaket suaminya. Suasana begitu heningnya sehingga mereka dapat mendengar suara kucing itu meminum susunya.

“Benarkah kau menginginkan itu?”, tanya suaminya.

“Ya,” jawab wanita itu.

“Juga pintu depan?”, tanya suaminya pula.

“Ya, tolonglah buka.” pinta wanita itu lagi.

“Kamu sendiri, toh, tak yakin bahwa yang berdiri di sudut jalan itu memang dia,” ucap suaminya masih men­coba mengelak, tetapi tak urung ia berdiri juga dan mem­buka kerai jendela tinggi-tinggi. Pada saat itu ia melihat bahwa semua kerai jendela rumah lainnya tertutup rapat dan hanya ada sedikit pantulan cahaya neon seperti lampu sebuah mercusuar di tengah malam.

“Bukankah juga mungkin bahwa dulu itu memang Hellmuth yang mati terobek-robek pisau dalam suatu perkelahian, sehingga wajahnya pun menjadi rusak,” ujar suami wanita itu.

“Ya mungkin saja,” jawab istrinya. “Ya, jadi?” tanya suami wanita itu.

“Itu tak jadi soal,” cetus wanita itu tetap bersikeras pada pendiriannya.

Suaminya pun lalu pergi ke muka rumah, menyalakan lampu luar dan membuka pintunya lebar-lebar.

Ketika suaminya kembali, wanita itu mengangkat wajahnya dari atas jaket suaminya dan tersenyum pada suami­nya.

“Sekarang siapa saja dapat masuk,” ujar suami wanita itu murung.

“Ya,” sahut istrinya dan tersenyum dengan lebih manis. “Sekarang siapa pun tak perlu bersusah payah lagi untuk memecah pintu. Sekarang, sewaktu-waktu mereka dapat saja dengan tiba-tiba berdiri di dapur dengan revolver di tangan.”

“Ya,” sahut wanita itu pula.

“Dan apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya suaminya.

“Menunggu,” jawab wanita itu seraya mengulurkan tangannya dan menarik suaminya untuk duduk di sebelahnya. Suami wanita itu pun duduk dan si kucing segera melompat kembali ke atas pangkuannya.

“Sekarang kau pun dapat menyetel radio,” ujar wa­nita itu.

Suaminya lalu mengambil radio di atas bufet dan menyetelnya. Terdengar suara musik yang sangat asing dan sebenarnya tidak seperti suara musik. Jika pada hari-hari lainnya tentu ia akan segera mengubah gelombang radio itu, tetapi hari itu sama saja baginya. Ia malah meletakkan kepalanya di bahu suaminya dan memejamkan mata, karena sinar lampu menyilaukan matanya dan juga ka­rena itu ia sangat lelah.

“Sungguh gila, pikir suami wanita itu. Aku dan istriku harus duduk di atas mercusuar dan menunggu kedatangan si penjagal, padahal barangkali yang tadi dilihat istriku bukan anak itu. Barangkali anak itu memang sudah mati.

Suami wanita itu segera menyadari bahwa istrinya sudah mulai tertidur dan ia segera hendak bergerak menutup pintu dan jendela. Namun, sudah lama benar istri­nya tak pernah tidur bersandar di bahunya lagi seperti dulu. Istrinya tampak masih seperti dulu, hanya wajahnya sudah sedikit berkerut, tetapi saat itu ia tak melihat kerutan dan uban di kepala istrinya, sehingga benar-benar nampak seperti dulu saja. Dan karena segalanya terlihat seperti dulu, maka ia merasa sayang untuk menarik bahu­nya karena takut istrinya terbangun dan keadaan kem­bali seperti semula.

Dari awal lagi, pikirnya. Dari awal kami memang sa­ngat menginginkan seorang anak. Aku selalu mendambakan seorang anak dan kami tak mendapatkannya. Lalu saudara perempuanku menyerahkan anak ketiganya si rambut keriting. Dan datanglah seorang di tangga, seorang anak laki-laki. Jangan melepaskannya, kata Pak Direktur. Jadi tenang, benar-benar tenang. Tenang, sangat tenang, kami tidak mencintainya. Dari si mungil berambut keriting ia berkembang menjadi seekor binatang liar. Masuklah tuan-tuan, semua pintu terbuka. Terbukalah. Istriku tak ingin berbuat lain dan ia tak akan merasa sakit. demikian pikir suami wanita itu meloncat-loncat dalam kelebatan ingatannya tentang masa lalunya.

“Tidak sakit,” ujarnya setengah tertidur. Tanpa sengaja terdengar agak keras sehingga istrinya membuka mata­nya, tersenyum dan kembali tertidur. Kedua-duanya pun tertidur. Mereka tak melihat bahwa kucing mereka me­lompat lagi ke luar lewat jendela yang terbuka. Mereka juga tak melihat salju terus berjatuhan dari atas atap dan angin hangat menggerakkan jendela dan fajar pun tiba. Mereka berdua tertidur, bersenderan satu sama lain, nyenyak dan tenang. Dan tak seorang pun datang untuk membunuh mereka.

Benar-benar tak seorang pun datang sepanjang malam itu.

***

Asal Mula Penulis Revolusioner dan Demokratis, Tahun 1776 – 1820


Revolusi Amerika melawan Inggris (1775-1783) adalah perang modern pertama melawan kekuatan kolonial. Namun, terlepas dari beberapa tulisan politik yang bagus, sangat sedikit ada karya yang menonjol selama atau sesaat setelah revolusi. Selain itu, Inggris selalu memberikan kecaman terhadap buku-buku Amerika. Orang Amerika sendiri sadar bahwa pola penulisan mereka sangat bergantung pada pola kesusasteraan Inggris.
Hingga tahun 1825, kebanyakan penulis Amerika membayar sendiri biaya percetakan untuk menerbitkan karya mereka. Jelas hanya mereka dari golongan berada saja macam Washington Irving dan kelompok New York Knickbocker, atau kumpulan penyair Connecticut yang dikenal sebagai The Harford Wits yang mampu membiayai hobi menulis mereka. Pengecualian adalah Benjamin Franklin, yang berasal dari keluarga miskin namun mampu menerbitkan karyanya karena ia punya percetakan sendiri.
Ketiadaan Undang-Undang hak cipta yang layak adalah penyebab lain kemacetan dunia sastra. Para pemilik percetakan yang dengan leluasa membajak buku-buku laris dari Inggris tentu saja bergerak untuk membayar penulis Amerika yang belum ketahuan kualitasnya. Ada banyak contoh pembajakan yang terkenal. Matthew Carey, seorang penerbit terkemuka, membayar seorang agen di London – semacam mata-mata sastra – untuk mengirimkan lembaran-lembaran halaman, atau contoh cetakan yang belum jadi ke dirinya dengan kapal cepat yang bisa tiba di Amerika dalam waktu satu bulan. Buku-buku bajakan dari Inggris ini dapat dicetak ulang dalam waktu sehari dan sudah bisa dibeli di toko-toko buku Amerika hampir bersamaan dengan di Inggris.
Ironisnya, UU hak cipta tahun 1790, yang memboleh pembajakan, dibuat dengan niat nasionalisme. Disusun oleh Noah Webster, pakar perkamusan yang kemudian menyusun kamus Amerika, UU ini hanya melindungi para penulis Amerika. Para penulis Inggris dianggap bisa menjaga diri sendiri.
Walaupun cacat, para penerbit menolak bila UU tersebut diganti karena memang menguntungkan mereka. Pembajakan membuat generasi pertama penulis revolusioner Amerika kelaparan; makanya tidak mengejutkan bila generasi sesudahnya jarang berproduksi. Titik puncak pembajakan, tahun 1815, adalah titik terendah penulisan asli Amerika. Walau begitu, menjamurnua buku bajakan asing dan klasik selama 50 tahun pertama kemerdekaan mendidik masyarakat Amerika, termasuk kelompok pertama penulis besar, yang mulai muncul sekitar tahun 1825.
Benjamin Franklin (1706 – 1790)
Benjamin Franklin, yang oleh filsuf Skotlandia David Hume disebut sebagai “sastrawan besar pertama”, adalah perwujudan ideologi rasionalitas manusia ala gerakan pencerahan. Praktis namun idealistis, tekun dan sangat sukses. Franklin merekam masa-masa awal kehidupannya di bukunya yang terkenal Autobiography.
Franklin adalah imigran generasi kedua. Ayahnya seorang pembuat lilin Puritan yang datang ke Boston, Massachusetts, dari Inggris pada tahun 1683. dalam banyak hal, dampak Pencerahan terpancar dalam kehidupan Franklin yang berbakat itu. Ia otodidak namun melahap tulisan-tulisan John Locke, Lord Shaftesbury, Joseph Addison, dan para penulisan Pencerahan lainnya. Ia belajar dari mereka untuk menemukan tujuan hidupnya dan untuk melepas tradisi – terutama tradisi kuno kaum Puritan – yang dianggap mencekik ideologinya.
Dari awal Franklin tahu menulis adalah cara terbaik menuangkan buah pikiran. Oleh sebab itu ia terus mengasah gaya penulisan prosanya yang luwes, bukan sebagai tujuan melainkan sebagai alat. “Menulis sebaik mungkin, bicara sefasih mungkin,” ujarnya. Ia mengikuti saran Royal Society di tahun 1667 yang menganjurkan untuk menggunakan “gaya bicara yang akrab, terbuka dan wajar; ekspresi positif, perasaan yang jelas, serta ketenangan, membuat semuanya sejelas perhitungan matematika.”
Karyanya Poor Richard’s Almanack, mulai diterbitkan tahun 1732 dan terus diterbitkan tahun-tahun berikutnya sehingga membuat Franklin makmur dan termasyhur di seluruh penjuru koloni. Di buku tahunan ini ia menuliskan dorongan, nasihat, dan informasi aktual yang berguna buat pembaca. Dimunculkan pula tokoh-tokoh menarik macam Bapa Abraham dan Poor Richard untuk mengucapkan kata-kata bijak. Dalam “The Way To Wealth”, yang aslinya muncul di Almanack, Bapa Abraham, “orang tua rapi berambut putih”, menasehati Poor Richard. “Tuhan menolong mereka yang menolong diri sendiri.” “Tidur lebih cepat dan bangun lebih dini membuat orang jadi sehat, kaya dan bijak.”
Washington Irving (1789 – 1859)
Bungsu 11 bersaudara yang datang dari keluarga mapan New York, Washington Irving menjadi duta kebudayaan dan diplomasi untuk Eropa, seperti halnya Benjamin Franklin dan Nathaniel Hawthorne. Walaupun berbakat, ia tidak menjadikan penulis sebagai profesi karena memang uang yang dihasilkan dari bidang itu sedikit. Namun, serangkaian insiden akhirnya membuat ia berubah pikiran. Lewat teman-temannya, ia menerbitkan Sketch Book (1819-1820) secara bersamaan di Inggris dan Amerika dan mendapat hak cipta serta bayaran di kedua negara.
Sketch Book of Geoffrye Crayon (nama samaran Irving) memuat dua ceritanya yang paling terkenal, “Rip Van Winkle” dan “The Legend of Sleepy Hollow”. Kata ‘sketch’ (sketsa) mewakili gaya Irving yang halus, elegan, namun tetap santai, dan crayon (krayon) sebagai perumpamaan kemampuan dirinya sebagai colorist atau pencipta suasana penuh nuansa dan efek emosional yang kaya. Dalam Sktech Book, Irving mengubah Pegunungan Catskill dekat Sungai Hudson, sebelah utara New York, menjadi tempat yang indah dan magis.
Tak ada penulis lain bisa sesukses Irving dalam memanusiakan negeri itu, mencantumkan nama, wajah, dan sejumlah legenda di dalamnya. Cerita “Rip Van Winkle”, yang tidur selama 20 tahun dan ketika bangun mendapatkan negerinya sudah merdeka, akhirnya menjadi cerita rakyat. Cerita ini sudah diadaptasi menjadi sandiwara panggung, cerita mulut ke mulut, dan perlahan diterima sebagai legenda otentik Amerika beberapa generasi kemudian.
Sejumlah karyanya karyanya bisa dianggap sebagai usaha tulusnya untuk membangun jiwa negeri baru itu dengan menciptakan sejarah dan memberinya kehidupan yang imajinatif. Sebagai subjek, ia memilih aspek-aspek paling dramatis dalam sejarah Amerika: penemuan Dunia Baru, presiden dan pahlawan nasional pertama, serta eksplorasi ke barat. Karya pertamanya, History of New York (1809), adalah satir yang ia tulis memakai nama samaran Diedrich Knickerbocker (itu sebabnya teman-teman Irving sesama penulis di New York dikenal dengan sebutan “knickerbocker school”)
James Fenimore Cooper (1789-1851)
James Fenimore Cooper adalah putra dari seorang quaker. Ia besar di kediaman ayahnya di Otsego Lake (kini Cooperstown) di pusat negara bagian New York. Walaupun pada masa kecil Cooper wilayah ini relatif tenang, sebenarnya di sini pernah terjadi pembantaian oleh kaum Indian. Cooper muda tumbuh di lingkungan feodal. Ayahnya, Hakim Cooper, adalah tuan tanah dan pemimpin. Waktu kecil Cooper menyaksikan interaksi para penjelajah dengan Indian di Otsego lake. Orang kulit putih nantinya merebut tanah keluarganya di situ.
Salah satu ciri tulisan Cooper yang membedakan dirinya dengan penulis lain adalah adanya mitos kuat era keemasan dan kuatnya rasa kepedihan akan hilangnya era tersebut. Berbeda dengan Irving yang mencari legenda, kastil dan tema besar ke Eropa, maka Cooper tetap teguh pada esensi mitos Amerika; bahwa ia abadi, seperti halnya alam liar. Perputaran alam hanya terlihat saat terjadinya pembinasaan alam; alam liar lenyap di depan mata orang Amerika, hilang begitu saja seperti fatamorgana. Inilah visi dasar Cooper yang tragis tentang pemusnahan alam liar, surga baru yang menarik minat kaum koloni untuk datang.
Natty Bumppo, tokoh rekaan Cooper yang terkenal, mewakili visinya tentang penjelajah tapal batas (frontiersman) sebagai pria sejati, “bangsawan alami” ala Jefferson. Pada awal tahun 1823, di The Pioneers, Cooper sudah mulai menemukan karakter Bumppo. Tokoh Natty sendiri diambil dari tokoh nyata pionir Amerika Daniel Boone, yang juga seorang Quaker seperti Cooper. Natty adalah penjelajah tenar pertama dalam sastra Amerika dan sesepuh dari ribuan tokoh pahlawan koboy. Ia adalah sosok ideal yang lebih baik derajatnya dari masyarakat yang ia lindungi. Miskin dan menyendiri, namun suci, ia menjadi ukuran bagi nilai-nilai etika dan cikal bakal dari tokoh Billy Budd (ciptaan Herman Melville) dan Huck Finn (Mark Twain).
Benang merah dari kelima novel yang secara kolektif dikenal sebagai Leather-Stocking Tales adalah kehidupan Natty Bumppo. Kelima karya terbaik Cooper ini adalah epik prosa dengan benua Amerika Utara sebagai lokasi, suku-suku Indian sebagai tokoh, dan perang besar serta imigrasi ke barat sebagai latar belakang sosial. Novel-novel ini mengangkat kehidupan para penjelajah tapal batas Amerika dari tahun 1740 hingga 1804.
Phillis Wheatley (1753 – 1784)
Mengingat kondisi kehidupan di Amerika sangat sulit pada tahun-tahun awal, sungguh ironis bahwa beberapa puisi terbaik yang lahir di era itu ditulis oleh seorang budak wanita yang luar biasa. Phillis Wheatley adalh penulis terkemuka Afro-Amerika pertama. Ia lahir di Afrika dan dibawa ke Boston, Massachusets, ketika ia masih berumur 7 tahun. Ia dibeli oleh seorang penjahit saleh dan kaya bernama John Wheatley untuk menemani istrinya. Keluarga Wheatley menyadari kecerdasan Phillis, dan dengan bantuan Mary, putri John, ia kemudian belajar membaca dan menulis.
Tema puisi Wheatley adalah agama, dan ia memakai gaya penulisan yang sama dengan Philip Freneau, yaitu neoklasik. Beberapa puisi terkenalnya antara lain “To S.M., a Young African Painter, on Seeing His Works,” puisi yang berisi pujian dan dukungan semangat terhadap salah seorang kulit berbakat lainnya, dan sebuah puisi pendek yang menunjukkan kekuataan sensitifitas keagamaannya yang tersaring melalui pengalamannya sebagai seorang yang masuk Kristen. Puisi ini membuat beberapa pengamat kontemporer merasa tak nyaman – bagi yang berkulit putih karena merasa puisi ini konvensional , sedang bagi yang berkulit hitam karena puisi ini tidak meneriakkan protes terhadap perbudakan. Namun karya ini merupakan ekspresi jujur yang menentang rasisme kaum kulit putih dan menyuarakan persamaan hak spiritual.
Penulis wanita lain; Susanna Rawson, Hannah Foster, Judith Sargent, Mercy Otis Warren dan Abigail Adams.
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More