Jumat, 30 Desember 2011

Lumpur


Selama ini dia menggarap sawahnya sendiri. Tidak ada yang menolongnya. Usianya sudah beranjak tua. Sementara anak-anaknya sudah tinggal di kota. Mencari uang untuk keluarga mereka sendiri. Dunia penuh tuntutan. Dan setiap orang terbebani oleh tuntutan masing-masing yang berbeda-beda. Itu sungguh disadari Sumarta. Karenaya ia tak mengharap anaknya mengunjungi setiap setengah tahun atau bahkan setiap setahun sekali.
Dua ekor kerbau yang dipelihara mungkin lebih pantas ia sebut sebagai anak, karena setiap hari ia melayani keperluan peliharaannya itu. Bukankah begitu tugas orang tua? Memberi dan melayani. Setiap hari Sumarta menyiapkan pakannya. Onggokan jerami kering bertumpuk dibelakang rumah gubugnya. Dari situlah ia memberi sarapan kepada kedua kerbaunya. Sore hari kedua kerbaunya itu dibawa ke lapangan tidak jauh dari rumahnya. Untungnya bulan-bulan ini musim hujan, sehingga rumput dilapangan hijau dan tebal. Cukup bergizi untuk kedua ternaknya.
Sayangnya, sudah dua hari dua malam salah satu kerbaunya sakit. Si kerbau terus mengeluarkan liur dan tertelungkup lemah. Kemarin ia paksa berdiri namun langsung jatuh tertelungkup. Sedang hari ini sama sekali si kerbau tak mau berdiri. Sebaskom air dan setumpuk jerami kering tak mengundang seleranya. Si kerbau hanya memandangi hidangan yang diberikan tuannya itu. Seolah-olah itu bukan makanan. Sumarta tak tahu apa penyakitnya. Sumarta bukan dokter hewan. Sumarta tak tahu penyakit hewan. Penyakit manusia saja ia buta apalagi harus memikirkan jenis-jenis penyakit binatang ?
Tak ada yang bisa Sumarta lakukan kecuali mengasapi kandang sapi. Biasanya Sumarta hanya mengasapi kadanga di sore hari. Namun, karena salah satu ternaknya sakit Sumarta asapi kandang hingga larut malam.
Ini malam kedua Sumarta duduk hingga larut di kandang. Ia teringat perjalanan hidupnya. Bagaimana dahulu ia menunggui anak-anaknya bila mereka sakit. Ditungguinya anaknya hingga pagi. Bahkan si sulung pernah ia gendong ke puskesmas di desa sebelah hingga kakinya berdarah. Itu cerita indah dahulu. Dan sekarang ia menunggui ternaknya bagai menunggui anak-anaknya dahulu. Ia merasakan sesuatu yang aneh. Ia baru sadar, kalau kerbau-kerbaunya tidak akan pernah meninggalkannya. Kerbau-kerbaunya akan lahir dan mati di sini. Di rumahnya.
***
Dua bulan kemudian.
Selama ini dia menggarap sawahnya sendirian. Benar-benar sendirian dan terkucil. Sahabat dan keluarganya hanyalah sepetak tanah berlumpur yang cukup subur. Hasilnya memang tak seberapa, apalagi tanahnya tidak diberi pupuk kimia. Hanya pupuk organik biasa. Pupuk organik pun ia kira-kira sendiri. Bukan dari hasil pelatihan dari dinas pertanian atau semacamnya.
Dunianya kini hanya rumah gubug dan sepetak tanah persawahan. Dua ekor kerbau yang dulu dipelihara kini tiada. Satu ekor ia jual karena kebutuhan perut sementara kerbau yang satu lagi mati karena sakit. Entah sakit apa. Yang lebih menyayat ia terkucil dari dunia luar dan keluarga. Terkucil dari dunia luar karena Sumarta adalah penduduk lansia yang tinggal jauh di pedalaman dan tak punya fungsi sosial yang jelas. Mungkin kesendirian dan kemandiriannya lebih baik daripada keberadaannya di keramaian masyarakat. Tak juga ia berharap sang anak menjenguknya. Memang sesekali harapan itu muncul tapi segera ia tepis karena tak ingin sakit karena hancurnya sebuah harapan.
Malam ini, tidur Sumarta diiringi sedikit kebahagian. Bahagia karena bau lumpur sawah tercium ketika ia hendak tidur.
“Inilah yang menemaniku sejak aku lahir hingga nanti mati”. Begitu gumamnya.
Suara jengkerik juga terdengar malam. Suaranya seperti tenggorokan yang tercekat namun terus berusaha bernyanyi. Nyanyian harapan dan kegembiraan.
Malam itulah, dalam hidupnya, ia tersenyum ketika tidur dan menutup mata. Malam itu ia baru menyadari bahwa aroma lumpur bisa begitu harum. Malam itu ia tidur dengan lelap diselimuti aroma lumpur yang menerobos dinding anyaman bambu rumah gubugnya.
“Ya inilah rumahku” Lagi-lagi ia bergumam begitu aroma lumpur sawah ia hirup dalam-dalam. “Hendak kemana lagi aku ? Kalau bukan di sini.”
Malam makin larut dan gelapnya menyelimuti segala yang hidup dan mati.

***
Dua minggu kemudian.
Gubug tua itu akan dibongkar. Para orang-orang suruhan tengah membongkarnya. Diantara mereka ada yang membawa linggis dan pencatut paku. Ada juga yang membawa alu. Mungkin, untuk menghancurkan dinding dari anyaman bambu yang rapuh dan kotor itu.Mereka adalah orang-orang suruhan anak Sumarta.
Sementara Sumarta telah meninggal 3 hari yang lalu. Jenazahnya ditemukan 10 hari setelah ia meninggal dalam keadaan tidur di kamar rumah gubugnya.  Jenazahnya telah berbelatung. Dan mungkin sekarang belatungnya telah menyelinap ke dalam tanah. Menyuburkan tanah rumah gubugnya yang mungkin kelak akan menjadi sawah kembali.
27 December 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More