Jumat, 06 Januari 2012

Bertemu Dalam Hati


 Cerita cinta selalu diawali pertemuan. Misalnya ketika di jalan tabrakan dengan seseorang. Atau ketika di sekolah, tiba-tiba seorang murid baru masuk kelas. Bisa juga ketika berangkat ke sekolah, tiba-tiba di pinggir jalan ada makhluk indah yang menarik perhatian. Semuanya seolah sudah diatur. Seolah-olah kita sedang bermain sinetron, sementara sutradara dan kru-krunya bersembunyi.
Hari ini Andi awali seperti biasa. Bangun tidur seperti biasa. Berangkat pun dengan kebiasaan yang sudah lama ia lakukan. Tidak ada perbedaan. Dan sama sekali ia tidak menduga akan mengalami hal yang istimewa hari ini.
Hari ini tidak ada hari Jumat. Jam 4 sore nanti ia ada koordinasi dengan teman-teman OSIS-nya. Ia persiapkan semuanya. Dan seperti biasa, dia akan pulang sore.
“Seperti orang kerja saja…”, begitu ia sering bergumam bila ia menyadari sering pulang sore.
-*-
Sore harinya.
Rian, Ahmad dan Denita sudah datang. Tinggal menunggu 2 orang lagi sebelum mereka mulai koordinasi. Mereka duduk di depan kelas XII IPS2. Di tempat duduk yang dibentuk melingkat dengan meja kecil di tengahnya, Rian seperti biasa, membawa netbook-nya sambil membahas siapa saja anak kelas XI yang bikin status paling konyol di FB.  Begitulah Rian. Sementara Denita, sang ketua OSIS hanya tertawa mendengar celoteh Rian, sambil sesekali ikut komentar.
“Eh, Dini ga bisa datang nie..”, kata Denita setelah membaca sms di hape­-nya.
Emang kenapa?” tanya Andi.
“Dia latihan pramuka di SMA 12”, jawab Denita. “Kan minggu depan ada lomba di Kabupaten!”
“Oh iya!” Kata Rian menyesal. Rianlah yang mengundang anak-anak OSIS koordinasi dan dia lupa kalau Dini selalu latihan pramuka setiap hari Jumat.
“Jadi, gimana dong?” Kata Andi. Khawatir. “Besok proposal, undangan trus spanduk harus udah di urus nieh..!”
Udah kita mulai aja. Soal tugasnya Dini tenang aja. Dia bilang siap aja kalau ada kerjaan buat dia, yang penting habis ini langsung kasih tau ke dia,” kata Denita memberikan solusi.
Lima menit kemudian Endi datang. Dan mulailah mereka membahas PENSI yang akan mereka adakan di sekolah.
Seperempat jam menjelang maghrib mereka selesai. Dan Andi yang akhirnya harus men-transfer hasil koordinasi sore itu ke Dini. Dengan berat hati Andi akhirnya mengalah. Sore itu ia betul-betul seperti pekerja di sebuah perusahaan yang harus bekerja sampai malam. Gagal-lah rencananya untuk pulang cepat ke rumah. Pulang menjelang maghrib saja sudah telat, apalagi kalau habis maghrib dia harus ke rumah Dini.
Untungnya Dini masih di SMA 12. Jadi dia tidak perlu pergi ke rumah Dini yang jauh. Kalau harus ke rumah Dini, paling cepat dia sampai rumah jam 9 malam. Akhirnya, ia pun meluncur ke SMA 12.
SMA 12 sepi. SMA 12 adalah yang paling tua di kota Andi tinggal. Bangunannya sisa peninggalan Belanda. Memang ada bangunan baru, tapi bangunan utama sekolah itu masih asli. Temboknya tebal dan tinggi dengan jendela yang lebar dan kayunya pun berat. Mungkin kayu jati. Kata Endi, SMA 12 mirip rumah sakit. Tapi, bagi Andi sama sekali tidak mirip rumah sakit. Bagi Andi suasananya mirip baru keluar dari mesin waktu dan terdampar ke masa kolonial kala Belanda masih berkuasa. Damai dan sepi. Seolah-olah kota ini dan sekolah ini dihuni orang-orang yang pulang pergi dengan sepeda onthel, sehingga suasana kuno-nya benar-benar terasa.
Saat itulah, Andi merasakan ketenangan yang sudah lama ia tak rasakan. Terakhir kali ia rasakan kedamaian itu ketika, dulu ia dua hari sendirian di rumah. Setiap bangun pagi, selalu membuatnya melamun. Biasanya keramaian yang dihadapinya, tapi kini suasana sepi dan tenang yang dirasakan. Ia seperti merasakan seluruh sudut dan ruang di rumahnya. Pagi yang membuatnya lebih merasa memiliki dan mengenal setiap sudut ruang di rumahnya. Kini rasa itu muncul lagi di tubuhnya.
Ia terus menyusuri koridor-koridor di SMA 12. Koridornya lebar. Kira-kira panjangnya 4 langkah. Tiangnya kayu coklat. Berderet tiap 10 meter. Seolah-olah pelayan yang menyambut kedatangan pejabat kolonial yang datang ke gedung itu. Lantainya putih dari keramik. Temboknya pun putih. Sehingga matahari yang terbenam tak membuat suasananya jadi gelap. Lembayung merah di barat dipantulkan dengan maksimal oleh tembok dan lantai, menyiratkan suana hening dan temaram.
Andi pun berbelok masuk ke koridor kelas-kelas. Dini ternyata sedang di ujung koridor. Jaraknya sekitar 80 meter. Dini berdiri dengan tenang. Padahal ada sederet bangku kayu di depan kelas. Mata Dini memandang Andi. Masih tenang. Dan berdiri bak nelayan yang hendak melaut menaklukkan ombak dan cakrawala.
Tak ada yang bisa dilakukan Andi selain terus berjalan dan memandang Dini juga. Di depan.
Untuk pertama kalinya, Andi merasa ada yang aneh dengan Dini. Namun segera Andi bisa menepisnya. Tepat ditengah-tengah keanehan itu muncul dengan tiba-tiba. Dan Andi tak bisa menepisnya. Ia baru sadar Dini seperti mematung. Entah mengapa Dini begitu fokus dan tenang memandangnya. Dia bak boneka. Tanganya tak bergoyang-goyang. Kakinya tak bergeser untuk menyamankan badan. Dini sudah nyaman dengan posisi itu. Dini sudah tidak ada urusan dengan badannya. Ia hanya menatap Andi. Seperti seorang terhukum mati menghadapi takdirnya.
Andi mulai tak tenang. Andi sudah cukup lama mengenal Dini, namun Dini yang di hadapannya seperti orang yang baru ia kenal.
Setiap langkahnya seperti sedang mendekati pohon yang amat tinggi, hingga ujung pohonnya pun tak terlihat oleh mata. Langkah kaki Andi jadi kikuk. Helaan tangannya aneh. Ia baru sadar, suasana sore itu begitu sunyi. Ia sering pergi ke tempat sunyi. Namun baru kali ini ia bisa mendengarkan dalam kesunyian. Seolah-olah, kesunyian adalah sebuah kerajaan rahasia yang disembunyikan dari pandagan dan pendengaran manusia.
“Ehm.” Andi berdehem ketika 10 meter di depan Dini. Berusaha memecahkan kehikmatan yang ia rasakan. Namun, Dini tetap tenang mematung.
“Kok sepi?” Tanya Andi.
Dini diam.
“Kenapa sih, kamu?” Tanya Andi lagi.
Tiba-tiba Dini tersenyum. Senyum kecil.
Kemudian Dini duduk di bangku panjang. Andi seperti mendengar suara,
‘Duduk di bangku saja sini…!’
Andi termangu melihat tingkah Dini yang aneh. Dan rasa aneh pun makin menjalari kepala, dada, perut, tangan dan kakinya. Rasanya seperti orang yang kelelahan dan harus istirahat, namun sama sekali ia tak ingin tidur atau merebahkan badan.
Dan secara refleks Andi ikut duduk di samping Dini. Dini tersenyum lagi.
“Temeni aku dulu ya, ayahku bentar lagi jemput”, kata Dini lembut.
Andi pun tersenyum.
Ia sekarang lupa harus mentransfer hasil koordinasi OSIS tadi.
“Kalau sampe jam 7, ayahku ngga ke sini kamu aja yang nganter ya..?”
Entah mengapa Andi menjawab.
“Iya deh…”
“Makasih ya…” Jawab Dini.
“Mmm kamu tahu ngga, ada putri bangsawan Belanda yang tinggal di sini dan ngga mau pulang lagi ke Belanda” Kata Dini gembira, seolah-olah ia kembali ke masa kecil ketika ia sedang senang-senang bermain boneka.
“Oya..?” Andi sedikit tak percaya. “Emang kenapa?”
“Karena ia jatuh cinta dengan tempat ini.”
 “Oya..?” Andi masih setengah tak percaya. “Darimana kamu tahu?”

-*-
Dan dua anak manusia itu pun melupakan apa yang seharian lalu mereka pikirkan. Tidak juga Andi. Tidak juga Dini. Sore itu hanya ada Andi, Dini, sederet bangku kayu tua, gedung tua era kolonial dan taman kecil di sebuah halaman kelas.


adirahmancorner_cerpen
Desember 2011-12-23

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More