Jumat, 06 Januari 2012

Lelehan Salju

Oleh: Marie Luise Kaschnitz

Tempat tinggal itu terkenal di tingkat dua sebuah apartemen yang besar dan bagus. Juga ruangan-ruangan di da­lam tempat tinggal itu bagus, memiliki ventilasi cukup dan tampak nyaman. Dinding-dindingnya dilapisi kertas dinding berwarna biru dengan percikan warna putih di sana-sini. Di dalam tempat tinggal itu terdapat lemari kayu jati yang kokoh dan terpelitur rapi, juga seperangkat kursi tamu yang empuk, nyaman, berwarna merah tomat. Dapurnya, walaupun masih bermodel kuno, tetapi dinding-dindingnya tercat putih bersih seperti salju dan nampak nya­man dengan kursi-kursi dan meja makannya yang besar.

Di luar cuaca berembun, salju mulai meleleh, jatuh bergumpal-gumpal dari atap rumah lalu teronggok di muka jendela. Wanita itu tengah berada di dapur ketika suaminya pulang dari tempat bekerja. Hari sudah mulai gelap dan jam dinding menunjukkan hampir pukul 6 sore. Ia mendengar bagaimana suaminya membuka pintu dengan kuncinya sendiri dan menguncinya kembali dari dalam.

Suami wanita itu lalu pergi ke kamar mandi, baru kemudian masuk ke ruangan dalam, menutup pintu yang berada di belakang punggung istrinya dan menyapanya. Barulah wanita itu melepaskan sarung tangan plastiknya yang penuh dengan busa sabun dan mengibarkan air dari jari-jari tangannya serta mengangguk membalas salam suaminya.

“Sudah kau kunci pintunya?” tanya wanita itu pada suaminya untuk meyakinkan dirinya.

“Sudah,” jawab suaminya.

“Dua kali?” tanya wanita itu lagi.

“Ya,” jawab suaminya pula.

Wanita itu kemudian pergi ke jendela dan menutup kerainya.

“Jangan menyalakan lampu dulu!” serunya pada suami­nya. “Ada lubang di kerai jendela, alangkah baiknya jika kau tutup dulu dengan selembar seng tipis di atasnya,” tambahnya lagi.

“Kau begitu penakut,” ujar suami wanita itu, namun tak urung juga ia segera mengambil perkakas pertukangan dan selembar seng tipis. Di salah satu sisi seng tipis itu ada gambar orang negro dengan syal merah di lehernya dan gigi-giginya terlihat putih berkilauan. Ia memakukan seng itu sedemikian rupa, sehingga orang bisa melihat si negro itu dari dalam rumah.

Suami wanita itu mengerjakan semua itu hanya dengan bantuan sedikit cahaya yang menerobos masuk ke dapur dari koridor rumah. Belum juga ia menuntaskan pekerjaannya, istrinya sudah pergi ke luar mematikan lampu luar dan menutup pintu. Kemudian tiba-tiba ruangan yang gelap gulita itu menjadi terang benderangg oleh cahaya lampu neon. Suami wanita itu mencuci tangannya di bawah keran dan kemudian duduk di depan meja makan.

“Sekarang, aku ingin makan,” ujarnya.

“Ya,” kata istrinya, yang lalu segera mengambil dari dalam lemari berisi Wurst, Schinken dan botol lada serta sepiring kentang berselada. Di atas meja makan sudah tersedia roti di dalam keranjang yang dihiasi dengan indahnya dan ditaruh di atas kain penutup terbuat dari linen bergambar kapal-kapal kecil yang lucu.

“Apakah kau punya koran hari ini?” tanya wanita itu pada suaminya.

“Ya,” jawab sang suami yang lalu beranjak ke luar dapur dan segera masuk ke dapur kembali. Diletakkannya koran yang dibawanya di atas meja makan.

“Pintu harus segera kau tutup kembali,” tegur wanita itu.

“Kalau tidak cahaya lampu di rumah kita terlihat dari luar dan orang segera tahu bahwa kita sedang berada di rumah.” tambahnya lagi.

“Ada berita apa di koran hari ini?” tanya wanita itu pada suaminya.

“Tentang kembalinya para astronot dari bulan,” jawab suaminya setelah menutup pintu, kemudian duduk kem­bali dan mulai memakan kentang dan Wurst-nya. “Juga sedikit berita tentang Cina dan Aljazair,” tambahnya.

“Aku tak ingin tahu tentang hal itu,” ujar wanita itu. “Yang ingin kuketahui, apakah polisi telah berbuat sesuatu?”

“Ya,” jawab suaminya. “Mereka membuat sebuah daftar nama.”

“Sebuah daftar nama?” seru wanita itu panik. “Apakah kau melihat ada polisi di jalan raya depan rumah kita?” tanyanya.

“Tidak,'' jawab suaminya.

“Juga tidak di sudut jalan?” tanya wanita itu lagi.

“Tidak,” kata suaminya lagi.

Wanita itu kemudian duduk pula di depan meja dan mulai makan, tetapi sangat sedikit. Tiap saat ia memasang telinganya dengan sangat tegang pada setiap bunyi atau suara yang terdengar dari jalan raya.

“Aku tak dapat memahami sikapmu,” ujar suaminya.

“Aku tak melihat dan tak tahu siapa yang akan melakukan sesuatu pada kita dan apa yang akan dilakukannya serta mengapa?” cetusnya lagi.

“Aku tahu orangnya,” jawab wanita itu.

“Selain dia, aku tak tahu siapa lagi orangnya. Dan dia kini sudah mati,” ujar suaminya.

“Aku benar-benar yakin,” ujar wanita itu yang lalu berdiri, membereskan piring-piring dan segera mulai mencucinya. Ia berusaha keras untuk sedapat mungkin tidak menimbulkan suara. Suami wanita itu menyalakan rokok dan mulai membaca halaman pertama koran hari itu. Orang dapat melihat bahwa ia tidak sungguh-sungguh sedang membaca.

“Kita, toh, hanya melakukan kebaikan padanya,” cetus suami wanita itu.

“Itu tidak ada artinya,” ujar istrinya seraya melepas sarung tangannya, memerasnya dan menggantungkannya pada papan berkait yang berwarna biru cantik yang terletak di atas alat pemanas.

“Tahukah kau, bagaimana mereka akan berbuat,” tanya wanita itu.

“Tidak!” jawab suaminya. “Aku juga tak ingin mengetahuinya. Aku ingin mendengarkan siaran berita.”

Walaupun suaminya sudah memutuskan pembicaraan mengenai hal itu, tetapi wanita itu masih saja meneruskan.

“Mereka akan membunyikan bel,” ujar wanita itu. “Te­tapi hanya jika mereka tahu ada orang di rumah. Bila pintu tak juga dibuka, maka mereka akan memecahkan pintu kaca, masuk ke dalam ruangan dengan revolver di tangan,” tambahnya lagi.

“Sudahlah,” putus suaminya. “Hellmuth sudah mati.”

Wanita itu mengambil serbet yang tergantung pada papan berkait di dinding dan mengeringkan kedua ta­ngannya.

“Aku harus menceritakan sesuatu padamu,” ujar wa­nita itu.

“Sebelumnya aku tak ingin menceritakannya, tetapi sekarang harus kuceritakan. Waktu itu, ketika aku dijemput oleh polisi ...”

Suami wanita itu meletakkan korannya di atas meja dan menatap istrinya dengan terkejut. “Ya?” tanyanya sangsi.

“Mereka membawaku ke kamar mayat,” ujar wanita itu. “Polisi itu lalu segera menutup mayat seseorang, te­tapi kemudian perlahan-lahan membukanya dari kakinya.”

“Polisi itu menanyakan apakah sepatu si mayat itu sepatu anakku atau bukan. Aku lalu mengiyakannya,” wa­nita itu bercerita pada suaminya.

“Polisi itu lalu juga menanyakan apakah celana dan baju si mayat itu celana dan baju milik anakku atau bukan. Aku pun mengiyakannya pula,” cerita wanita itu lagi.

“Ya, aku ingat,” ujar suaminya.

“Terakhir polisi itu juga menanyakan apakah wajah si mayat itu wajah anakku atau bukan. Ia membuka kain penutup mukanya, tetapi hanya sekejap karena wajah ma­yat itu telah begitu rusak dan ia takut kalau aku akan tak sadarkan diri atau menjerit keras,”' cerita wanita itu pula.

“Waktu itu, aku juga mengiyakan bahwa itu memang wajahnya.”

“Ya aku ingat,” ujar suaminya pula.

Wanita itu menghampiri meja, duduk berhadap-hadapan dengan suaminya seraya meletakkan kepalanya di atas tangannya.

“Aku sebenarnya tidak mengenali wajah mayat itu,” ujar wanita itu mengaku.

“Tetapi tentunya, wajah mayat itu memang wajah­nya,” suaminya mencoba meyakinkannya.

“Tetapi rasanya bukan dia,” ujar wanita itu lagi. “Aku segera pulang ke rumah waktu itu dan mengatakan padamu bahwa aku telah melihat mayatnya, dan kau waktu itu tampak senang.”

“Ya, kita berdua senang,” kenang suaminya.

“Karena dia bukan anak kandung kita,” sambung wa­nita itu.

“Karena ia kembali tak ada, seperti sediakala,” lanjut suaminya pula, yang lalu memandang wajah istrinya lekat-lekat. Sebuah raut muka yang bundar dan tetap tampak muda dikelilingi anak-anak rambut, tetapi yang dapat pula tiba-tiba berubah menjadi wajah seorang wanita yang sangat tua.

“Kau kelihatan begitu lelah,” cetus suami wanita itu.

“Kau begitu tegang dan cemas. Seharusnya kita tidur sekarang,”

“Tak ada gunanya,” ujar istrinya. “Sudah lama kita tak dapat tidur. Kita hanya berbaring saja dan sedikit memicingkan mata. Kemudian terbitlah fajar, dan mata kita pun segera terbuka lagi,” tambahnya pula.

“Agaknya orang tak boleh memungut anak seorang pun. Kita telah melakukan kesalahan waktu itu, tetapi kini semuanya sudah beres,” kata suami wanita itu.

“Aku tidak mengenali mayat itu,” keluh wanita itu mengulangi kesangsiannya.

“Tetapi bisa saja, ia telah benar-benar mati atau pergi jauh ke luar negeri, ke Amerika atau Australia,” ujar suami­nya menenangkan.

Saat itu segumpal salju jatuh kembali dari atap rumah ke atas jalan raya dan menimbulkan suara lunak.

“Masih ingatkah kau pada suatu musim dingin yang begitu bersalju,” tanya wanita itu.

“Ya,” jawab suaminya. “Waktu itu Hellmuth baru ber-usia 7 tahun. Kita membelikan sebuah sepatu luncur. Ia juga masih mendapat banyak hadiah lainnya.”

“Tetapi, bukan yang diinginkannya,” ujar wanita itu.

“Ia mengaduk-aduk seluruh hadiah yang didapatnya. Mencari dan terus mencari. Akhirnya ia menjadi tenang dan bermain dengan balok-balok kayu. Ia membangun rumah-rumahan yang tidak memiliki jendela dan pintu serta dikelilingi oleh tembok yang tinggi.”

“Pada tahun baru, ia membunuh seekor kelinci,” ke­nang wanita itu lagi.

“lebih baik kita bicarakan hal yang lain saja.” putus suaminya. “Berikan padaku gitar itu, aku hendak memperbaiki senarnya.

“Terlalu berisik nanti,” kata wanita itu. “Tahukah kau, bagaimana mereka menyebut diri mereka sendiri?” lanjut wanita itu lagi, tak ingin rnengalihkan pembicaraan.

“Tidak,” jawab suaminya. “Aku tak mengetahuinya. Aku ingin tidur atau melakukan yang lainnya.” cetus suami­nya pula.

“Mereka menyebut diri mereka hakim-hakim,” lanjut wanita itu menjawab sendiri pertanyaannya. Ia segera memasangkan mata dan telinganya tajam-tajam, ketika seseorang terdengar menaiki tangga ke tingkat yang paling tinggi.

“Kau membuatku gila,” cetus suaminya.

“Ketika ia berumur 9 tahun, ia memukulku untuk pertama kalinya. Ingatkah kau?” tanya wanita itu pada suami­nya.

“Ya, aku masih ingat,” sahut suaminya. “Ia diusir dari sekolahnya dan kau memarahinya. Pada saat itulah kita memasukkannya ke lembaga pendidikan anak nakal”

“Pada saat liburan, ia pulang ke rumah,” kenang wa­nita itu.

“Ya, pada saat liburan ia bersama kita,” ulang suami­nya.

“Suatu waktu pada hari Minggu aku pergi dengannya ke telaga di tengah hutan. Kami melihat ikan-ikan di sana.

Pada perjalanan pulang, ia menggenggamkan tangannya ke tanganku.”

“Keesokan harinya,” lanjut wanita itu. “Ia memukul anak walikota tepat di matanya.”

“Ia tak tahu bahwa yang dipukulnya itu anak walikota” ujar suaminya.

“Saat itu ia sungguh tak menyenangkan,” kenang wa­nita itu.

“Kau nyaris kehilangan pekerjaanmu waktu itu.”

“Kita begitu senang waktu itu jika saat liburan telah usai,” lanjut suaminya seraya berdiri mengambil sebotol minuman dari dalam lemari es dan menuangkannya ke dalam gelas di atas meja, “mau minum jugakah kau?” tanyanya pada istrinya.

“Tidak, aku tidak ingin minum,” jawab wanita itu. “Ia tak mencintai kita,” tambahnya lagi.

“Ia tak pernah mencintai siapa pun,” sahut suami wa­nita itu. “Namun, paling tidak ia pemah mencari perlindungan pada kita.”

“Saat itu ia dikirim kembali dari lembaga pendidikan itu, karena masa pendidikannya di situ telah selesai,” kata wanita itu terus mengenangkan masa lalu. “Ia tak tahu harus pergi ke mana.”

“Direktur lembaga itu menelponku,” ujar suami wanita itu pula. “Ia seorang yang ramah dan lucu. Ia berpesan padaku agar menerima kehadiran Helmuth kembali, jika ia pulang ke rumah kita, karena ia tidak mempunyai uang sedikit pun dan tak dapat membeli makanan. Jika seekor burung lapar, tentu ia akan kembali ke sarangnya,” demikian pesan Pak Direktur itu padaku.”

“Benar ia mengatakan hal itu?” tanya wanita itu.

“Ya,” jawab suaminya. “Pak Direktur itu juga ingin tahu apakah di kota ini Hellmuth mempunyai kawan atau tidak.”

“Ia tak punya kawan seorang pun,” ujar wanita itu.

“Saat itu salju mulai meleleh,” kenang suaminya. “Salju jatuh bergumpal-gumpal dari atap rumah ke dalam balkon,” tambahnya lagi.

“Persis seperti hari ini,” ujar wanita itu.

“Segalanya persis seperti hari ini,” ulang wanita itu. “Jendela ditutup rapat, berbicara pelan-pelan seolah-olah tak seorang pun sedang berada di rumah. Anak itu menaiki tangga, menekan bel dan mengetuk pintu.”

“Hellmuth bukan seorang anak-anak lagi,” kenang suaminya. “Ia sudah berumur 15 tahun waktu itu, dan kita harus melakukan apa yang dipesankan Pak Direktur.”

“Kita takut waktu itu,” ujar wanita itu.

Suami wanita itu menuang ke dalam gelas minumannya yang kedua. Suara dari jalan raya hampir tak terdengar lagi. Orang dapat mendengar suara dari kejauhan, dari pegunungan.

“Ia berdiam diri sejenak,” ujar wanita itu. “Ia sudah berumur 15 tahun waktu itu, tapi ia menangis di atas tangga.”

“Semuanya kini telah berlalu,” ujar suaminya dan memainkan ujung jari tangannya membentuk lingkaran di atas penutup meja bergambar kapal kecil.

“Di kantor polisi waktu itu ada seorang wanita yang menangis meronta-ronta. Anaknya mati tertabrak,” ujar wanita itu.

“Bau darah,” ujar suaminya setengah bercanda dan memperlihatkan wajah seorang yang menderita.

“Ia, toh, pernah juga sekali waktu mempunyai seorang sahabat,” kenang wanita itu meralat pernyataannya sebelumnya. “Sahabatnya itu seorang anak laki-laki yang kecil dan lemah. Anak itulah yang diikat oleh teman-temannya di halaman sekolah. Rumput di bawah kakinya dibakar dan rumput itu pun turut membakar kaki anak itu.”

“Nah, kamu lihat lagi, kan,” ujar suaminya.

“Tidak,” bantah wanita itu. “Hellmuth tidak turut melakukannya dan dia juga tidak senang berada di situ. Anak malang itu akhirnya dapat melepaskan dirinya, tetapi ia kemudian meninggal. Semua teman-temannya datang ke pemakamannya dan menabur bunga.”

“Juga Hellmuth?'“ tanya suaminya.

“Hellmuth tidak,” jawab wanita itu.

“Ia tidak berhati.” ujar suami wanita itu dan mulai memain-mainkan gelas minumnya.

“Barangkali tidak demikian,” sanggah wanita itu.

“Di sini cahaya begitu terangnya,” ujar suaminya tiba-tiba seraya memandang ke lampu neon dan kemudian menutup matanya dengan tangannya.

“Di mana fotonya?” tanya suami wanita itu.

“Di dalam lemari,” jawab istrinya.

“Kapan kau menaruhnya?” tanya suaminya lagi

“Sudah lama.” jawab wanita itu.

“Tepatnya kapan?” kejar suaminya terus.

“Kemarin,” jawab wanita itu.

“Jadi kau melihatnya, kemarin?” tanya sang suami.

“Ya,” jawab wanita itu panik, “Ia berdiri di sudut jalan.”

“Sendiri?” tanya suaminya lagi.

“Tidak,” jawab wanita itu pula, “Ia bersama beberapa orang temannya yang tak kukenal. Mereka semuanya berdiri dengan kedua tangan di saku celana dan berdiam diri saja. Kemudian mereka mendengar suatu suara, yang juga kudengar. Suara pluit melengking panjang dan tiba-tiba mereka semua lenyap begitu saja seperti ditelan perut bumi.”

“Apakah mereka melihatmu?” tanya suami wanita itu,

“Tidak,” jawab istrinya. “Aku sedang turun dari trem listrik waktu itu dan ia tengah berputar membelakangiku.”

“Barangkali bukan dia,” ujar suami wanita itu lagi.

“Aku tak begitu yakin,” sahut istrinya.

Suami wanita itu berdiri, menggeliat, menguap dan beberapa kali menendang kaki kursi seraya berucap: “Itulah sebabnya mengapa orang tak boleh memungut anak. Orang tak tahu apa yang ada di dalam diri anak tersebut.”

“Tak akan pernah ada yang tahu, apa yang terdapat dalam diri orang lain,” sahut istrinya pula.

Wanita itu menarik sebuah laci meja, memasukkan tanganya dan meletakkan segulung benang hitam dan jarum jahit di atas meja.

“Buka jaketmu,” ujar wanita itu pada suaminya, “Kancingnyayang paling atas, lepas.”

Scmentara dia melepas jaketnya, laki-laki itu juga memperhatikan bagaimana istrinya berusaha memasukkan benang ke dalam jarum jahit. Dapur itu sangat terang dan jarum itu mempunyai lubang yang besar, tetapi kedua ta­ngan wanita itu gemetar sehingga ia tak kunjung berhasil memasukkan benang itu.

Suami wanita itu meletakkan jaketnya di atas meja dan istrinya masih terus duduk serta berusaha memasukkan benang itu ke dalam jarum, namun tak kunjung berhasil.

“Bacakan sesuatu untukku,” pinta wanita itu ketika ia mengetahui suaminya sedang mengamatinya terus.

“Dari koran?” tanya suaminya.

“Tidak,”' jawab wanita itu, “Dari buku.”

Suami wanita itu lalu pergi ke ruang tamu dan segera kembali dengan membawa buku. Sementara ia meletakkan buku itu di atas meja dan kemudian mencari kacamatanya di dalam tas, terdengar oleh mereka berdua suara kucing mengeong keras di muka jendela.

“Akhirnya datang juga si tukang keluyur itu,” ujar suami wanita itu seraya berdiri dan mencoba membuka kerai jendela, tetapi karena baru saja ditambal dengan selembar seng maka kerai itu tidak dapat dibuka.

“Kau harus melepaskan dulu seng itu,” cetus istrinya.

Suami wanita itu lalu mengambil tang dan mencabut kembali paku dari seng itu. Setelah itu ia membuka kerai jendela dan dalam sekejap meloncat si kucing yang lalu berkelebat berkeliling dapur seperti bayangan batu bara hitam.

“Harus aku memasang kembali seng ini?” tanyanya pada istrinya.

Wanita itu menggelengkan kepalanya. “Sekarang bacakanlah buku itu untukku,” pintanya lagi.

Suami wanita itu lalu mengambil seng tipis bergambar orang negro itu dan menyandarkannya dekat lemari es dan si negro itu nyengir padanya dari bawah. Ia kemudian duduk dan mengambil kacamata dari tempatnya.

“Miez,” panggilnya, dan kucing itu melompat ke pangkuannya serta mulai mendengkur. Ia mengelus-elus punggung kucing itu dengan tangannya dan tiba-tiba terlihat begitu gembira.

“Bacalah,” pinta istrinya lagi. “Dari depan?” tanya suami wanita itu. “Tidak.” jawab wanita itu. “Dari mana saja. Bukalah buku itu di tengah-tengah dan bacalah dari mana saja.” “Itu. kan, tak ada gunanya,” cetus suaminya. “Tentu saja ada gunanya,” bantah wanita itu, “Aku ingin tahu, apakah kita bersalah atau tidak,” tambahnya pula.

Suami wanita itu lalu memakai kacamatanya dan mem­buka buku itu langsung di tengah-tengah. Buku itu begitu saja diambilnya dalam kegelapan tanpa pilih lagi. Mereka tak memiliki banyak buku. Ia lalu mulai membaca de­ngan lambat dan berat.

“Akan tetapi aku sekarang memandangnya hampir dengan terkejut karena gerakannya yang begitu teratur dan kuat, rambutnya yang hitam keriting jatuh di keningnya, matanya yang besar bercahaya. Semuanya itu masih saja terlihat seperti gambar di depanku.”

Suami wanita itn masih membacakan beberapa kata, lalu meletakkan begitu saja buku itu di atas meja dan berkata: “Kita tak tahu apa-apa mengenai hal itu.”

“Tidak,” seru wanita itu dan memegang kembali jarum di tangan kirinya dan memasukkan benang ke dalam lubang jarum itu dengan tangan kanannya.

“Mengapa kau ingin tahu benar hal itu?” tanya suami­nya. “Setiap orang bersalah dan tidak bersalah. Memikirkan hal itu tak ada gunanya.”

“Jika memang kita bersalah,” ujar wanita itu. “Kita sekarang harus membuka kerai itu lebar-lebar, sehingga setiap orang dari kejauhan pun dapat melihat bahwa kita berada di rumah. Kita juga harus menyalakan lampu halaman dan membuka pintu depan, sehingga setiap orang dapat masuk.”

Suaminya menunjukkan sikap tak berani. Kucing di pangkuannya melompat meluncur ke sudut ruangan di samping keranjang sampah. Di sana sudah ada secangkir kecil susu untuknya. Wanita itu tak lagi mencoba mema­sukkan benang ke dalam jarum. Ia meletakkan kepala­nya di atas meja, di atas jaket suaminya. Suasana begitu heningnya sehingga mereka dapat mendengar suara kucing itu meminum susunya.

“Benarkah kau menginginkan itu?”, tanya suaminya.

“Ya,” jawab wanita itu.

“Juga pintu depan?”, tanya suaminya pula.

“Ya, tolonglah buka.” pinta wanita itu lagi.

“Kamu sendiri, toh, tak yakin bahwa yang berdiri di sudut jalan itu memang dia,” ucap suaminya masih men­coba mengelak, tetapi tak urung ia berdiri juga dan mem­buka kerai jendela tinggi-tinggi. Pada saat itu ia melihat bahwa semua kerai jendela rumah lainnya tertutup rapat dan hanya ada sedikit pantulan cahaya neon seperti lampu sebuah mercusuar di tengah malam.

“Bukankah juga mungkin bahwa dulu itu memang Hellmuth yang mati terobek-robek pisau dalam suatu perkelahian, sehingga wajahnya pun menjadi rusak,” ujar suami wanita itu.

“Ya mungkin saja,” jawab istrinya. “Ya, jadi?” tanya suami wanita itu.

“Itu tak jadi soal,” cetus wanita itu tetap bersikeras pada pendiriannya.

Suaminya pun lalu pergi ke muka rumah, menyalakan lampu luar dan membuka pintunya lebar-lebar.

Ketika suaminya kembali, wanita itu mengangkat wajahnya dari atas jaket suaminya dan tersenyum pada suami­nya.

“Sekarang siapa saja dapat masuk,” ujar suami wanita itu murung.

“Ya,” sahut istrinya dan tersenyum dengan lebih manis. “Sekarang siapa pun tak perlu bersusah payah lagi untuk memecah pintu. Sekarang, sewaktu-waktu mereka dapat saja dengan tiba-tiba berdiri di dapur dengan revolver di tangan.”

“Ya,” sahut wanita itu pula.

“Dan apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya suaminya.

“Menunggu,” jawab wanita itu seraya mengulurkan tangannya dan menarik suaminya untuk duduk di sebelahnya. Suami wanita itu pun duduk dan si kucing segera melompat kembali ke atas pangkuannya.

“Sekarang kau pun dapat menyetel radio,” ujar wa­nita itu.

Suaminya lalu mengambil radio di atas bufet dan menyetelnya. Terdengar suara musik yang sangat asing dan sebenarnya tidak seperti suara musik. Jika pada hari-hari lainnya tentu ia akan segera mengubah gelombang radio itu, tetapi hari itu sama saja baginya. Ia malah meletakkan kepalanya di bahu suaminya dan memejamkan mata, karena sinar lampu menyilaukan matanya dan juga ka­rena itu ia sangat lelah.

“Sungguh gila, pikir suami wanita itu. Aku dan istriku harus duduk di atas mercusuar dan menunggu kedatangan si penjagal, padahal barangkali yang tadi dilihat istriku bukan anak itu. Barangkali anak itu memang sudah mati.

Suami wanita itu segera menyadari bahwa istrinya sudah mulai tertidur dan ia segera hendak bergerak menutup pintu dan jendela. Namun, sudah lama benar istri­nya tak pernah tidur bersandar di bahunya lagi seperti dulu. Istrinya tampak masih seperti dulu, hanya wajahnya sudah sedikit berkerut, tetapi saat itu ia tak melihat kerutan dan uban di kepala istrinya, sehingga benar-benar nampak seperti dulu saja. Dan karena segalanya terlihat seperti dulu, maka ia merasa sayang untuk menarik bahu­nya karena takut istrinya terbangun dan keadaan kem­bali seperti semula.

Dari awal lagi, pikirnya. Dari awal kami memang sa­ngat menginginkan seorang anak. Aku selalu mendambakan seorang anak dan kami tak mendapatkannya. Lalu saudara perempuanku menyerahkan anak ketiganya si rambut keriting. Dan datanglah seorang di tangga, seorang anak laki-laki. Jangan melepaskannya, kata Pak Direktur. Jadi tenang, benar-benar tenang. Tenang, sangat tenang, kami tidak mencintainya. Dari si mungil berambut keriting ia berkembang menjadi seekor binatang liar. Masuklah tuan-tuan, semua pintu terbuka. Terbukalah. Istriku tak ingin berbuat lain dan ia tak akan merasa sakit. demikian pikir suami wanita itu meloncat-loncat dalam kelebatan ingatannya tentang masa lalunya.

“Tidak sakit,” ujarnya setengah tertidur. Tanpa sengaja terdengar agak keras sehingga istrinya membuka mata­nya, tersenyum dan kembali tertidur. Kedua-duanya pun tertidur. Mereka tak melihat bahwa kucing mereka me­lompat lagi ke luar lewat jendela yang terbuka. Mereka juga tak melihat salju terus berjatuhan dari atas atap dan angin hangat menggerakkan jendela dan fajar pun tiba. Mereka berdua tertidur, bersenderan satu sama lain, nyenyak dan tenang. Dan tak seorang pun datang untuk membunuh mereka.

Benar-benar tak seorang pun datang sepanjang malam itu.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More