Jumat, 06 Januari 2012

PELAGEYA

Oleh: Mikhail Zoschenko

PELAGEYA adalah seorang wanita buta huruf. Ia bahkan tidak bisa menuliskan namanya sendiri.

Meskipun begitu, suami Pelageya adalah seorang pejabat Sovyet yang bertanggung jawab. Sekalipun dahulu ia cuma seorang petani biasa, lima tahun hidup di kota telah eng-ajarkan banyak kepadanya. Tidak hanya bagaimana cara menulis namanya, tetapi juga berbagai hal yang lainnya. Dan ia merasa sangat malu mempunyai seorang istri yang buta huruf.

“Engkau, Pelageyushka, mesti belajar, paling tidak menulis namamu sendiri.” Begitu yang biasa ia ucapkan pada Pelageya. “Nama belakangku, kan, cukup mudah. Cuma dua suku kata – Kuch-kin, dan engkau belum juga bisa menuliskannya. Sungguh keterlaluan.”

Biasanya Pelageya mengelak. “Tak ada gunanya lagi buatku untuk belajar sekarang, Ivan Nikolaevich,” pasti demikian jawabnya. “Aku sudah mulai tua. Jari-jari tanganku sudah mulai kaku. Buat apa aku belajar menulis huruf-huruf itu sekarang? Biar saja yang muda-muda yang belajar. Aku ingin menjadi tua sebagaimana adanya.”

Suami Pelageya adalah seorang yang sangat sibuk dan tidak bisa membuang waktu terlalu banyak buat istrinya. Ia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, seakan berkata, “Oh, Pelageya, Pelageya!” Namun, tak diucapkannya kata-kata itu.

Pada suatu hari Ivan Nikolaevich membawa pulang sebuah buku kecil yang istimewa.

“Ini, Polya,” katanya, “adalah buku untuk belajar sen­diri keluaran terbaru, yang dibuat atas dasar metode-metode yang paling mutakhir. Aku sendiri yang akan menjadi gurumu.”

Pelageya tertawa saja, menerima buku itu, membuka-bukanya, dan menyimpannya di balik rak dapur, seperti hendak mengatakan, “Biarkan saja di situ. Mungkin anak-cucu kita akan memerlukannya kelak.”

Pada suatu hari Pelageya sedang duduk bekerja. Ia ha­rus menambal mantel milik Ivan Nikolaevich. Bagian lengannya terkoyak.

Pelageya duduk di dekat meja. Ia mengambil jarum jahitnya. Diletakkannya tangannya di bawah mantel dan didengarnya sesuatu yang berbunyi berkerisik. Mungkin ada uangnya, pikir Pelageya. Ia mencari-cari dan menemukan sepucuk surat. Sebuah surat yang apik, dengan amplop yang bersih, tulisan tangan yang baik, dan kertas yang berbau parfum atau eau de cologne.

Jantung Pelageya berdetak keras.

Mungkinkah Ivan Nikolaevich serong? pikirnya. Mungkinkah ia saling bertukar surat cinta dengan nyonya-nyonya berpendidikan tinggi dan menertawakan istrinya yang miskin, bodoh, dan buta huruf?

Pelageya menatap amplop itu, mengeluarkan isinya dan membuka lipatannya, tetapi karena ia buta huruf tak dapat diartikannya sepatah kata pun.

Untuk pertama kali dalam hidupnya Pelageya menyesal karena tak dapat membaca.

Meskipun itu mungkin surat orang lain, pikirnya, aku tetap harus mengetahui apa isinya. Seluruh hidupku mungkin bisa berubah karenanya, dan lebih baik aku kembali saja ke desa menjadi petani lagi.

Pelageya mulai menangis dan merasa bahwa Ivan Nikolaevich kelihatan berubah akhir-akhir ini – ia tampak lebih memberi perhatian pada kumisnya dan lebih sering mencuci tangannya. Pelageya duduk memandangi surat itu dan terisak-isak seperti seekor babi yang kena perangkap. Namun, tak dapat dibacanya surat itu, dan kalau ia tunjukkan kepada orang lain, pasti akan memalukan.

Pelageya menyembunyikan surat itu di balik rak, menyelesaikan pekerjaannya, dan menunggu Ivan Niko­laevich pulang.

Ketika ia datang Pelageya berpura-pura seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Malahan, dengan nada suara kalem dan lembut ia berbicara dengan suaminya, bahkan memberi isyarat bahwa ia tidak keberatan untuk belajar sedikit dan bahwa ia telah jenuh menjadi seorang petani yang buta huruf dan bodoh.

Ivan Nikolaevich sangat gembira mendengarnya. “Itu baru namanya baik,” katanya. “Dan aku sendiri yang akan mengajarimu.”

“Boleh, silahkan,” kata Pelageya, dan dengan tajam ditatapnya kumis kecil Ivan Nikolaevich yang rapi dan melintang.

Selama dua bulan penuh Pelageya mempelajari bukunya setiap hari. Dengan telaten diuraikannya kata-kata ke dalam suku-suku kata, dipelajarinya cara menulis huruf-huruf, dan dihafalkannya kalimat-kalimat. Dan setiap sore dikeluarkannya surat berharga itu dari rak serta dicobanya menebak-nebak isinya yang misterius.

Tapi rupanya itu bukan pekerjaan yang mudah.

Baru pada bulan ketiga Pelageya menguasai ketrampilan tersebut.

Pada suatu pagi ketika Ivan Nikolaevich pergi bekerja, Pelageya mengambil surat dari rak dan mulai membacanya.

Sulit memang baginya membaca tulisan tangan yang kecil-kecil, tetapi bau parfum yang samar-samar dari kertas surat tersebut membakar semangatnya. Surat itu ditujukan pada Ivan Nikolaevich.

Pelageya membaca:

Kamerad Kuchkirt Yth,

Kukirimkan buku yang kujanjihan kepadamu. Kurasa istrimu pasti mampu menguasai buku tebal ini dalam waktu dua atau tiga bulan. Berjanjilah padaku, kamerad, bahwa engkau akan memaksanya untuk belajar. Terangkan kepadanya; buatlah supaya ia merasa betapa tidak enaknya menjadi seorang wanita petani yang buta huruf.

Dalam rangka merayakan ulang tahun Revolusi, kita sedang bergiat menghapus buta huruf di seluruh Republik dengan segala cara, namun kadang-kadang, karena satu dan lain hal, kita melupakan orang yang dekat dengan kita sendiri.

Jangan lupa, Ivan Nikolaevich.

Salam,
Maria Blokhina

Pelageya membaca surat itu sampai dua kali. Kemudian, sambil merapatkan bibirnya dengan sedih dan diam-diam merasa terhina, ia pun meneteskan air mata.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More