Jumat, 06 Januari 2012

Semut dan Belalang

Oleh : William Sommerset Maugham

Masa kanak-kanakku diisi dengan cerita-cerita fabel La Fortane yang ajaran moralnya dijelaskan dengan hati-hati kepadaku. Salah satu di antaranya adalah kisah semut dan belalang, yang ditulis untuk dibaca anak-anak di rumah sebagai pelajaran berharga. Di dalam dunia industri, cerita itu tidak begitu dihargai dan dianggap memusingkan. Di dalam fabel yang bagus ini (aku mohon maaf mengatakan sesuatu yang kukira semua orang sudah tahu, tetapi belum pasti), semut melewatkan musim panas yang keras dengan mengisi gudang makanan untuk musin dingin, sementara belalang bertengger di ilalang bernyanyi pada matahari. Musim dingin tiba dan semut merasa nyaman, tetapi belalang kelaparan. Ia pergi menemui semut dan minta sedikit makanan.
Kemudian semut memberi jawaban klasik :
“Apa yang kau lakukan di musim panas?”
“Menyambut kehadiranmu, aku bernyanyi, aku bernyanyi, aku bernyanyi sepanjang hari, sepanjang malam.”
“Kau bernyanyi. Mengapa sekarang tidak pergi dan menari?”

Aku tidak menyalahkan cerita itu menggoyahkan batinku, tetapi lebih sebagai ketidak-konsekuenan masa kanak-kanak dalam hal ajaran moral yang terus saja bergolak di dalam diriku. Simpatiku ada pada belalang dan kadang-kadang aku tidak pernah melihat seekor semut tanpa menginjaknya. Dalam ringkasan cerita ini (dan sejak aku menyadari semuanya manusiawi) aku mencoba memperhatikan ketidaksetujuaanku pada keadaan dan nilai masyarakat umum.

Aku tidak bisa memikirkan fabel ini bila kemarin kulihat George Ramsay makan siang seorang diri di sebuah restoran. Aku tidak pernah melihat orang memakai baju gelap sebagai bentuk ekspresi. Ia mengamati ruangan itu, seakan beban seluruh dunia ada di pundaknya. Aku kasihan padanya. Kukira adik lelakinya yang malang membuat masalah lagi. Aku menghampirinya dan menjulurkan tanganku.

“Apa kabar,” tanyaku.
“Aku sedang sedih,” jawabnya.
“Tom lagi?”
Ia menarik nafas.
“Ya, Tom lagi.”
“Kenapa tidak kau biarkan saja? Kau berbuat segalanya demi dia. Kau harus menyadarinya, bahwa ia bisa diharapkan.”

Aku kira setiap keluarga punya kambing hitam. Tom menyusahkan selama dua puluh tahun. Ia memulai hidupnya dengan baik. Ia bekerja, menikah dan punya dua anak. Keluarga Ramsay adalah keluarga terpandang dan mungkin beralasan bila kemudian Tom Ramsay akan punya karir tinggi dan terhormat.
Tetapi suatu hari, tanpa ada tanda-tanda, ia mengatakan bahwa ia tidak suka bekerja dan tidak pantas untuk menikah. Ia ingin menikmati hidupnya sendiri. Ia tidak mau mendengar pendapat orang lain. Ia tinggalkan pekerjaan dan kantornya. Ia punya sedikit uang dan menghabiskan waktu selama dua tahun dengan berfoya-foya di berbagai kota di Eropa.

Menurut kabar angin apa yang diperbuatnya diamati oleh keluarganya terus menerus dan mereka sangat terguncang. Hidupnya tentu saja bersenang-senang. Mereka menggeleng-gelengkan kepala dan bertanya-tanya apa yang akan terjadi bila uangnya habis. Mereka segera tahu, bahwa ia meminjam uang. Ia punya pemasukan berkala dari temannya dan ia pandai bergaul. Tetapi ia selalu bilang, bahwa uang yang dihabiskan adalah uang adalah uang yang kalian habiskan untuk kemewahan. Untuk ini ia bergantung kepada kakakknya George. Ia tidak merayunya. George orangnya serius dan tidak mempan bujuk rayu. George sangat dihormati. Sekali dua kali ia pernah terjebak janji Tom untuk berubah dan memberinya sejumlah uang yang cukup supaya Tom bisa memulai hidup baru. Oleh Tom uang itu dibelikan sebuah mobil dan beberapa permata mahal. Tetapi kemudian keadaan memaksa George untuk menyadarinya, bahwa adik lelakinya tidak akan pernah puas dan akhirnya ia bersikap masa bodoh padanya. Tom, tanpa sesal, mulai memerasnya.

Sebagai pengacara terpandang, tidak baik punya adik yang mengaduk cocktail di restoran favoritnya atau melihatnya menunggu di belakang kemudi taksi di luar klub. Tom bilang menjadi pelayan bar atau pengemudi taksi adalah pekerjaan yang pantas, tetapi jika George bisa memberinya beberapa ratus pound, ia tidak keberatan demi kehormatan keluarga berhenti dari pekerjaan itu. George memberinya.

Tom pernah hampir masuk penjara. George sangat marah. Tom terjerumus ke dalam noda. Tom sungguh keterlaluan. Ia menjadi liar, tidak punya pikiran, dan egois. Padahal sebelumnya ia tidak pernah berbohong, yang melanggar hukum maksud George. Jika dia diadili pasti dihukum.

Tetapi George tidak bisa membiarkan adik lelaki satu-satunya masuk penjara. Orang yang ditipu Tom adalah Cronshaw, yang ingin membalas dendam. Ia berniat membawa masalah itu ke pengadilan. Ia bilang, Tom adalah bajingan dan harus dihukum. George harus mendamaikan masalah ini dan lima ratus pound dikeluarkan untuk masalah ini. Saya tidak pernah melihat dia sedemikian marah ketika mendengar Tom dan Cronshaw pergi bersama-sama ke Monte Carlo setelah mereka mencairkan cek yang diberikannya. Mereka bersenang-senang di sana selama sebulan.

Selama dua puluh tahun, Tom berjudi, main perempuan, berpesta- dansa, makan di restoran paling mahal dan berpakaian necis. Ia selalu kelihatan seperti punya segalanya. Meskipun umurnya empat puluh enam tahun, orang akan mengira umurnya tidak lebih dari tiga puluh lima. Ia seorang teman yang bikin pusing, dan meskipun orang tahu ia tidak berharga, orang tidak bisa menikmati kehidupannya. Ia punya semangat hidup yang tinggi, sangat ceria dan tampan. Aku tidak pernah cemburu pada pemberian yang ia terima dariku secara berkala untuk keperluan hidupnya. Aku tidak pernah meminjamkannya lima puluh pound tanpa merasa bahwa ia berhutang padaku. Tom Ramsay tahu semua orang dan semua orang tahu Tom Ramsay. Orang bisa saja tidak suka padanya, tetapi orang juga tidak bisa tidak suka padanya.

George yang malang. Usianya hanya setahun lebih tua dari adiknya yang bandel, tetapi kelihatannya seperti berumur enampuluhan. Ia tidak pernah mengambil cuti empat belas hari dalam setahun selama dua puluh lima tahun. Ia ada di kantor setiap pagi pukul setengah sepuluh dan tidak pulang sebelum pukul enam. Ia jujur, rajin dan dihormati. Ia punya istri yang baik, tidak pernah dikhianatinya walaupun cuma dalam angan-angan sekalipun dan empat anak perempuan yang amat disayanginya. Ia menabung sepertiga pengahasilannya dan berencana akan pensiun pada umur lima puluh lima tahun, lalu pindah di sebuah rumah kecil di desa dimana ia bisa menggarap kebun dan bermain golf. Ia senang bahwa ia bertambah tua, karena Tom juga bertambah tua. 

Ia menggosokkan tangannya dan berkata;
“Ketika Tom masih muda dan tampan, semuanya sangat menyenangkan. Tetapi umurnya berbeda satu tahun saja denganku. Empat tahun mendatang usianya jadi lima puluh tahun. Hidupnya akan bertambah berat. Aku akan punya tiga puluh ribu pound saat usiaku lima puluh. Selama dua puluh lima tahun aku selalu bilang, bahwa hidup Tom akan berakhir miskin. Kita akan lihat bagaimana ia jadinya nanti. Kita lihat mana yang lebih menguntungkan, bekerja atau bermalas-malasan.”

George yang malang ! Aku kasihan padanya. Aku jadi ingin tahu, perbuatan hina apa yang telah diperbuat Tom saat aku duduk di sebelah George. Ia terlihat sangat marah “Kau tahu apa yang terjadi sekarang?” tanyanya padaku.

Aku yakin sesuatu hal yang buruk. Aku mengira, bahwa Tom pasti ditangkap polisi. George bisa juga bicara keras.
“Kau tidak bisa memungkiri, bahwa selama hidupku aku bekerja keras, berbuat baik dan terhormat, dan berjuang demi masa depan. Selama hidup berhemat dan bekerja keras, masa depanku akan menghasilkan banyak penghasilan karena pangkat tinggi. Aku selalu mengerjakan tugasku dalam cara seperti itu yang dengan senang hati ditakdirkan kepadaku.”
“Benar.”
“Dan kau tidak bisa memungkiri, bahwa Tom adalah pemalas, tidak berguna, cabul, bajingan. Jika ada keadilan pasti ia sudah di gubug reyot.”
“Benar.”
Muka George memerah.
“Beberapa minggu lalu ia menikah dengan wanita tua yang pantas menjadi ibunya. Sekarang wanita itu mati dan mewariskan semuanya pada Tom. Uang setengah juta pound, sebuah kapal layar, sebuah rumah di London dan sebuah rumah di desa.”
George Ramsay memukul meja dengan kepalan tangannya.
“Ini tidak adil, kukatakan padamu, ini tidak adil.”

Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Tawaku meledak ketika melihat murkanya George. Aku berputar di kursiku, hampir saja aku jatuh ke lantai. George menjadi marah padaku. Namun begitu, Tom sering mengundangku makan malam di rumahnya yang indah di Mayfair. Jika ia sesekali meminjam kepadaku, hal itu hanya sekadar kebiasaannya saja, bukan karena kekuasaannya.
(pent : Riva Julianto- Kompas, 31 Des 1995)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More