Jumat, 06 Januari 2012

Si Beruang Es

Oleh: Marie Luise Kaschnitz

Ah, akhirnya datang juga, gumamnya ketika ia mendengar gerendel pintu gerbang dibuka. Sebenarnya ia sudah terlelap, namun segera terjaga mendengar suara itu. Hanya saja ia menjadi terheran-heran mengapa suaminya tidak menyalakan lampu luar.

“Walther!” panggilnya, tapi, hening tak ada sahutan. Ia menjadi bergidik. Jangan-jangan orang itu bukan suami­nya melainkan pencuri yang mencoba menyelinap dan menggeledah kamar dan lemarinya.

Ia ragu apakah sebaiknya ia berpura-pura tidur saja. Namun, suaminya sewaktu-waktu bisa saja datang dan pen­curi itu tentu akan menembaknya, sehingga, walaupun ia sangat ketakutan, namun diberanikannya juga untuk menyalakan lampu kamar. Tapi, baru saja ia bergerak untuk menyalakan lampu. terdengar suara suaminya yang berdiri di tengah pintu.

“Jangan nyalakan lampu!” seru suara itu. Ia menurunkan tangannya dan bangkit duduk di atas tempat tidur. Suaminya masih tetap berdiam diri saja, tak beranjak sedikit pun dari tempatnya semula, walaupun ia menawarkan agar suaminya duduk di kursi sebelah pintu kalau memang belum ingin tidur.

“Bagaimana kabarnya hari ini, Walther?” tanya wanita itu pada suaminya.

“Kabar apa?” suaminya justru balik bertanya.

“Semuanya. Ya, tentang apa saja yang engkau kerjakan hari ini. Tentang bisnis, makanan dan perjalananmu!” jawabnya.

“Ah kita tidak perlu membicarakan tentang hal itu sekarang” kata suaminya lagi.

“Lalu .... apa yang perlu kita bicarakan sekarang?” tanyanya keheranan.

“Tentang masa lalu!” jawab suaminya singkat.

Matanya tak dapat menembus kegelapan untuk melihat suaminya. Ia menjadi jengkel sekali pada kebiasaannya menutup jendela kamar rapat-rapat dan juga menarik tirai biru tebalnya sehingga tak sedikit pun cahaya yang menerobos masuk. Ia ingin benar mengetahui apakah suaminya masih mengenakan topi dan baju luarnya yang menandakan ia masih akan bepergian lagi ataukah ia habis minum minuman keras sehingga mabuk dan tak bisa memutuskan apakah akan terus pergi atau tidak.

“Yang aku maksudkan soal kebun binatang itu!” seru suaminya.

Ia mendengar suara suaminya itu seperti bergaung dari kejauhan karena kamar mereka model kuno yang luas dan beratap tinggi sekali.

“Kebun binatang?!” serunya terheran-heran, namun kemudian ia segera tersenyum dan kembali terhenyak ke atas bantalnya. “Ya, Walther, di sanalah kita pertama kali berkenalan,” ujarnya kalem.

“Ya, kamu masih ingat, ‘kan tepatnya di depan kandang apa kita berjumpa?”, suaminya terus memburunya dengan pertanyaan-pertanyaan.

“Ya. . . ya aku ingat, tapi aku tidak mengerti mengapa engkau tak segera berganti pakaian dan pergi tidur Walther? Kalau engkau ingin makan akan aku ambilkan dan kau bisa makan di tempat tidur, atau kalau kau mau makan di dekat dapur juga boleh,” katanya lembut dan segera menyingkapkan selimutnya dan bergegas hendak menyiapkan makan malam suaminya. Namun, walaupun kamar itu begitu gelap gulita, suaminya seakan-akan melihat jelas apa yang ia lakukan dan segera melarangnya.

“Tak usah bangun dan jangan nyalakan lampu. Aku tak mau makan apa-apa dan kita bisa tetap bercakap-cakap dalam gelap” tandas suaminya.

Ia menjadi terheran-heran mendengar nada aneh pada suara suaminya dan juga mengapa ia yang tentu sangat lelah itu tak mau apa-apa kecuali membicarakan masa lampau mereka.

Lima tahun sudah mereka menikah dan hari-hari sekarang selalu terasa lebih indah dan lebih penting baginya dibandingkan dengan hari-harinya yang lampau, namun karena suaminya kelihatan begitu menuntutnya untuk terus menjawab pertanyaan-pertanyaannya, ia menjadi terhenyak kembali ke atas bantal dan meletakkan kedua tangannya di bawah kepalanya.

“Di depan kandang beruang es” katanya lembut men­jawab pcrtanyaan suaminya tadi. “Mereka baru selesai diberi makan dan sedang turun dari bebatuan terjal yang ada di kandang untuk memangsa ikan-ikan di air. Setelah itu mereka naik lagi ke atas bebatuan, putih kotor warna bulunya dan mulai , . . “, belum selesai ia berkata-kata suaminya segera memotongnya.

“Mulai apa?!”

“Yah, seperti biasanya mereka selalu menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri . . . terus tanpa henti,” jawabnya.

“Ya persis seperti kamu!” tandas suaminya.

“Seperti aku?” tanyanya keheranan dan mulai menirukan gerakan beruang es itu dalam kegelapan.

“Kau tengah menunggu seseorang!” kata suaminya ketus, “Saya terus mengamat-amati kamu waktu itu. Saya sedang berada di depan kandang burung waktu itu. Burung-burung itu mula-mula hinggap dengan tenangnya di atas dahan. tapi tiba-tiba beterbangan dan menancapkan ujung kaki-kaki mereka di atas pagar kawat,” lanjut suaminya membuka kembali lembaran masa lampau me­reka.

“Ah, kandang beruang es, pagarnya, bukan pagar kawat” ia mencoba berbicara soal lain.

“Kamu sedang menanti-nanti seseorang waktu ittu. Kepalamu bergerak terus menoleh ke kanan dan ke kiri, tapi orang yang kau nanti-nantikan itu tak kunjung tiba juga!” ujar suaminya dengan nada pasti.

Mendengar perkataan suaminya yang penuh nada kepastian itu ia menjadi terhenyak kembali dan terdiam baku di bawah selimutnya. Entah mengapa ia merasa bahwa ia harus menyembunyikan hal yang sebenarnya.

“Aku tidak menunggu siapa-siapa waktu itu,” ujarnya. “Setelah saya mengamat-amatimu sekian lama, saya lalu mendekatimu dan berpura-pura asyik pula melihat beruang-beruang es. Kita kemudian bercakap-cakap dan duduk di atas bangku kayu sambil memperhatikan burung Flamingo yang lehernya merah panjang seperti ular. Udara tak lagi panas waktu itu, bahkan angin akhir musim panas bertiup sepoi-sepoi” kenang suaminya, tak memperdulikan bantahannya, seakan-akan semua yang telah berlalu itu te­ngah terjadi kembali di hadapan mereka kini.

“Ya, saat itulah aku mulai merasakan hidup yang sebenarnya,” kata wanita itu.

“Hal itu yang sulit saya percayai!” kata suaminya ketus. “Ganti pakaian dululah, Walther! Atau nyalakanlah lampu, atau paling tidak . . . duduklah Walther,” bujuknya. “Saya duduk dan sekaligus berdiri, saya berbaring dan sekaligus terbang. Yang aku inginkan sekarang adalah kenyataan yang sebenarnya!” seru suaminya.

Wanita itu menjadi menggigil kedinginan di bawah selimutnya yang hangat tebal. Ia takut kalau-kalau suami­nya yang ramah dan penggembira itu kehilangan akal sehatnya. Tapi, pada saat itu juga tiba-tiba ia menjadi ingat dengan begitu jelasnya, bahwa ia dulu memang setiap sore selalu menantikan seseorang di kebun binatang itu. Dan sekarang bukan tidak mungkin suaminya mengetahui segalanya dari orang itu sendiri.

“Tentang kenyataan yang mana. Walther?”, elaknya.

“Waktu itu saya lalu mengantarmu pulang ke rumah. Kita kemudian sering berjalan-jalan dan keluar malam bersama. Tiap kali saya tanyakan padamu apakah engkau tengah menanti seseorang dan terus menantinya serta tidak dapat melupakannya, tapi engkau tiap kali selalu menggelengkan kepala dan mengatakan tidak,” suaminya terus mengungkit masa lalu mereka.

“Ya. itu memang hal yang sebenarnya!” katanya. Alangkah inginnya ia agar fajar segera tiba sehingga dapat melihat suaminya karena matanya entah kenapa tak dapat juga beradaptasi dengan kegelapan dan ia tak kunjung juga melihat suaminya. Ia menjadi gelisah karenanya.

“Itu bukan kenyataan yang sebenarnya!'' sergah suami­nya.

Ya, ya, memang itu bukan kenyataan yang sebenarnya, gumamnya dalam hati. Walther benar. Karena waktu itu walaupun aku berjalan-jalan dan berdansa di malam hari dengannya tapi tiap kali dengan diam-diam mataku selalu berkeliling mencari orang yang kucintai namun yang tega meninggalkanku. Aku memang menyukai Wal­ther, namun aku menikah dengannya bukan dengan dasar cinta melainkan hanya karena aku tak mau terus hidup sendiri.

Ia tiba-tiba saja merasa begitu lelahnya dan ingin membeberkan semua hal yang selama ini selalu ia elakkan. Barangkali kalau ia sudah mengatakan hal yang sebenarnya, suaminya akan datang menghampirinya dari kege­lapan itu.

Ia akan mengatakan bagaimana sebenarnya hal yang telah lalu itu dan bagaimana sekarang, yakni bahwa ia kini telah mencintai suaminya dan semua laki-laki lain tak ada artinya lagi baginya. Ia yakin kalau saja ia dapat memeluk leher suaminya ia pasti akan dapat meyakinkan suaminya bahwa cintanya kini selalu tumbuh dan cintanya yang lalu sudah lama mati.

“Walther,” serunya lembut. Ia memang tidak memanggil suaminya dengan sebutan sayang atau kekasihku, tapi dengan mesranya ia mengembangkan kedua belah tangannya.

Suaminya tak kunjung menghampirinya juga. Ia tetap berdiri kaku di tempatnya dan tetap tak dapat tertihat sosok tubuhnya.

“Ketika itu saya beluum mengenal betul kota Munchen dan atas saranmulah, ketika kita baru menikah, tiap Minggu kita mengelilingi Munchen. Kita belum punya mobil saat itu, hingga kita selalu naik kendaraan umum berganti-ganti untuk rute yang berbeda-beda dan akhirnya turun di stasiun terakhir. Sesampainya di stasiun terakhir kita juga selalu berjalan-jalan sejenak. Tanpa sadar selalu kulihat bahwa engkau seperti tengah mencari-cari seseorang. Kepalamu selalu menoleh ke kanan dan kiri tanpa henti seperti seekor beruang es yang sedang mencari kebebasan atau apalah yang tak kita ketahui. Saya lalu sering memanggilmu beruang esku.” suaminya terus mengingatkannya tentang masa lalu mereka.

“Ya,” ujar wanita itu lirih. Ia teringat bahwa pada bulan-bulan pertama pernikahan mereka, suaminya selalu memanggilnya si beruang es. Ia dulu mengira julukan itu diberikan kepadanya untuk mengenangkan saat perjumpaan pertama mereka di depan kandang beruang es atau, kalau tidak, ya, karena ia mempunyai rambut pirang yang sangat panjang dan tebal, yang bergantung seperti surai binatang di atas pundaknya. Namun, ternyata julukan itu lahir dari kecurigaan dan bukan sekedar nama kesayangan.

“Ketika kita sudah punya mobil, kita selalu pergi ke alam bebas tiap pekan. Kita lalu berjalan melintasi hutan dan berjemur di atas padang rumput sampai tertidur. Kepalamu kau letakkan di dadaku. Ketika kita kemudian terjaga oleh angin ribut, temyata kita telah kehilangan arah. Baru berjam-jam kemudian kita menemukan mobil kita...masih ingat tidak kau, Walther?”

Wanita itu mencoba membangkitkan kenangan manis mereka berdua. Namun, suaminya seolah tak mendengar segala perkataannya dan berkata dengan dinginnya. “Kita pernah sekali bertemu dengannya!”

“Ah sudah, sudahlah!”. seru wanita itu yang tiba-tiba menjadi jengkel. “Ayolah makan, atau biarkanlah aku menyalakan lampu agar aku dapat menyiapkan makanan untukmu. Masih ada ayam goreng di kulkas.”

Suaminya tidak sedikit pun mengindahkan perkataan­nya. Ia menjadi berfikir keras bagaimana caranya agar suaminya dapat membuang jauh-jauh segala pemikirannya itu.

“Kau besok menghadapi hari yang berat untuk menyelesaikan lagi urusanmu hingga malam, Walther. Kalau kau sekarang tidak istirahat, akan tambah berat jadinya.”

“Kita pernah sekali bertemu dengannya,” ulang suami­nya dengan nada yang sama.

Wanita itu meremas-remas kedua tangannya dan tak tahu apa yang harus dikatakannya lagi. Seandainya saja hari segera terang, pikirnya.

Untuk tahun baru nanti suaminya telah menghadiahkan kepadanya sebuah meja hias yang diperlengkapi de­ngan lemari bertirai dan sebuah kaca yang besar, sedangkan untuk suaminya, ia telah mempersiapkan pula hadiah berupa kap lampu yang dihiasi dengan rerumputan dan lumut yang ia kumpulkan dan keringkan selama musim panas. Ia yakin bahwa kalau saja suaminya melihat hadiah darinya itu tentulah ia menjadi yakin bahwa istrinya mencintainya.

“Kita pemah berjumpa sekali dengannya!” ucap suami­nya untuk ketiga kalinya. Suara suaminya itu terdengar begitu aneh dan senada, “Kita tengah menyusuri Lud-wigstrasse. Malam cerah saat itu dan banyak orang juga tengah berjalan-jalan. Tak ada orang yang secara khusus kau perhatikan, juga tak ada yang berhenti sejanak untuk menyapamu. Tapi aku tengah memelukmu waktu itu. Tiba-tiba kurasakan tubuhmu bergetar hebat, jantungmu seakan berhenti berdetak dan pipimu memerah ka­rena darahmu tersirap. Masih ingatkah engkau semua itu?” ujar suaminya terus.

Ya, ya. Wanita itu ingin menjawab yang sebenarnya. Aku masih mengingatnya dengan baik. Saat itulah aku untuk pertama kali dan terakhir kalinya bertemu dengan bekas kekasihmu. Jantungku memang seakan berhenti berdetak, namun tak lama segera normal kembali bahkan aku seolah memperoleh hati baru, sehingga ketika wajah tampan dingin kekasihku dulu itu menghilang di kerumunan orang, tak berpengaruh apa-apa lagi kepadaku. Bahkan susah bagiku kini untuk mengingat sosoknya lagi.

Itu semua yang ingin dikatakan oleh wanita itu kepada suaminya dan juga ingin mengingatkannya betapa waktu itu cepat-cepat ia menyuruk ke dada suaminya dan berusaha menciumnya. Namun tiba-tiba ia menjadi ragu apakah suaminya akan mempercayainya, Ia merasakan adanya kepanikan dan ketakutan di balik ketenangan suara suaminya yang tidak mungkin dihilangkan atau dibicarakan saat itu.

“Ya aku ingat saat kita berjalan-jalan waktu itu,” sahutnya kalem dan berusaha agar nada suaranya terdengar sewajar mungkin. “Aku melihat seorang kenalanku. Aku agak kedinginan waktu itu dan malamnya aku demam.”

“Benarkah itu?” tanya suaminya.

“Ya.” jawab wanita itu pelan.

Ia sedih karena tak mampu mengatakan hal yang sebenarnya, yang tentunya lebih baik daripada mengatakan apa-apa sekedar untuk memuaskan hati suaminya. Ia sekarang merasa begitu letihnya dan juga mengantuk, tapi ia pun begitu inginnya mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi pada diri suaminya, mengapa ia tidak mau menyalakan lampu dan bergegas pergi tidur.

“Kalau begitu ... tentunya yang benar adalah sebaliknya?” tanya suaminya. Di dalam suaranya tersirat harapan yang besar.

“Apa?” wanita itu balik bertanya pada suaminya.

“Tentang kebun binatang! Yakni bahwa engkau tidak menanti-nanti seseorang waktu itu,” jawab suaminya masih dengan penuh harap.

“Aku sedang menunggumu waktu itu,” kata wanita itu. “Aku memang belum mengenalmu waktu itu. Tapi orang kan, dapat saja menanti seseorang yang belum sekali pun ia lihat.”

“Jadi kamu menikah denganku bukan hanya karena kamu baru ditinggalkan oleh laki-laki lain, tapi semata-mata karena engkau mencintaiku,” tanya suaminya memastikan.

Alangkah menyedihkannya bahwa aku hanya berbaring di sini saja dan membohongi suamiku. Aku harus menga­takan hal yang sebenarnya, apa pun yang akan terjadi, pikirnya. Ia berusaha bangkit untuk mengatakan hal yang sebenarnya, akan tetapi tiba-tiba ia mendengar suara erangan yang berat dan tertahan-tahan.

Suamiku sakit, pikirnya terkejut dan meletakkan kembali kepalanya di atas bantal dan berkata dengan keras dan jelasnya; “Ya!”

“Alangkah bahagianya aku,” kata suaminya dan melepas nafas lega. Tak lama kemudian hening. Barangkali ia sudah menutup pintu kamar tidur dari luar dan bermaksud meninggalkan rumah lagi, pikir wanita itu. Ia segera meloncat dari tempat tidur dan berusaha meraih lampu. Ketika ia berhasil menyalakan lampu, ruangan , itu menjadi terang dan lengang. Ia berlari ke teras depan, namun di Sana pun ia tak melihat suaminya. Walaupun rumah tempat mereka tinggal itu model kuno namun sejak beberapa waktu yang lalu setiap ruangannya dilengkapi dengan tombol pembuka pintu.

“Walther!” seru wanita itu cemas. Ia menekan tombol. Pintu-pintu segera terbuka, namun suaminya tak juga dilihatnya.

Ia dan suaminya tinggal di tingkat lima dari apartemen itu. Tiba-tiba ia mendengar langkah-langkah berat menaiki kelima tangga tingkat apartemen dan mendekati tempat tinggalnya. Ternyata langkah-langkah polisi.

“Suami nyonya...,” katanya laki-laki itu ketika me­reka berpapasan dengan wanita itu di mulut tangga lantai 5,” mengalami kecelakaan lalu lintas. Mobilnya bertabrakan dengan mobil lain ketika ia hendak keluar dari jalan tol. Ia mengalami luka parah.” Ketika mereka selesai mengatakan kabar buruk itu, mereka berhenti sejanak untuk mengamati wajah wanita itu yang keheran-heranan dan kemudian menambahkan bahwa suami wanita itu kini tengah berada dalam perjalanan ke rumah sakit.

Namun para penolong dalam mobil ambulans menyatakan kekhawatiran mereka bahwa korban tak akan dapat ditolong nyawanya.

“Itu tidak mungkin!” kata wanita itu dengan tenang. Ini pasti suatu kekeliruan. Saya baru saja bercakap-cakap dengan suami saya. Ia ada di kamar tadi bersama saya.”

“Di sini?” tanya para polisi itu dengan mata yang terbelalak takjub. “Di mana kalau begitu?” tanya mereka seraya pergi mencari ke dapur, ruang tamu dan menyalakan lampu di semua ruangan.

“Tidak ada seorang pun yang dapat kami temukan, Nyonya” mereka berkata dengan lembut seraya membujuk wanita itu untuk berganti pakaian dan mengikuti mereka ke rumah sakit.

Wanita itu lalu berganti pakaian pergi, menyisir rambut pirangnya yang panjang dan pergi mengikuti polisi-polisi itu menuruni tangga.

Dalam perjalanan ke rumah sakit, wanita itu duduk di tengah, diapit para polisi itu yang mencoba bersikap seramah mungkin walaupun mantel-mantel hujan mereka berbau tidak enak.

Ia sangat senang karena ambulans itu terus berbunyi dan menerobos terus lampu-lampu merah di jalan raya. “Cepat, cepat!”, suaranya berulang-ulang. Para polisi itu mengira bahwa ia takut kalau ia tidak sempat melihat suaminya dalam keadaan hidup. Namun ia sendiri tidak tahu sama sekali mengapa ia berada di dalam mobil ittu dan hendak ke mana mereka pergi. Kata “Cepat cepat” ia ucapkan secara otomatis saja dan secara otomatis pula ia menengok ke kanan dan ke kiri, ke kiri dan ke kanan, seperti yang dilakukan oleh seekor beruang es. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More